Sabtu, 29 Maret 2014

Harus Bagaimana

Diamlah di tempatmu dengan biasa-biasa saja
Tidurlah tanpa berdoa agar bermimpi indah
Sebab nanti bila aku bangun
Akan menghadapi harapan yang tanpa aku perjuangkan

Bila hanya pemberani yang memenangkan sebuah pertandingan
Sementara aku adalah perempuan yang rela sakit agar tidak menjadi durhaka
Cukupkah keberuntungan yang memenangkanku
Atau paling tidak ketegaranku saja yang menjadikannya cukup

Kau berhasil menggiringku pada permulaan tanpa pilihan
Sampai pada akhirnya aku menghadapi kemungkinan yang bersifat mau tidak mau
Kehadiran cemburu dan gusar sangat tidak memiliki iba
Meski berulang aku tersenyum pada penawaran-penawaran yang baru

Bila aku berteriak sakit berarti memang sakit
Bila aku tidak berteriak berarti aku sedang menahan sakit yang lebih
Kau tetap menjadi yang aku tulis hingga kurun waktu entah
Bahkan meskipun aku tahu bagaimana usahamu memperjuangkan perempuan itu

Seminar Bareng Indra Widjaya dan Brilliant Yotenega

Surabaya, 22 Maret 2014.
Aku mencoret catatan mimpiku lagi tahun ini. Isinya “Menjadi pembicara di workshop menulis”.

Walaupun aku tahu kalau aku belum menjadi pembicara utama, namun ini tetap saja harus digolongkan sebagai pembicara. Bukan begitu? Harus begitu dong. Hehehe.

Acara ini diadakan di kampusku. Pembicara utamanya ada Indra Widjaya (Penulis buku Idol Gagal dan Tulang Rusuk Susu) dan Brilliant Yotenega (founder nulisbuku.com). Aku sendiri diminta untuk sharing tentang buku “You are My ABCD” yang baru saja aku terbitkan. Senang, bangga, haru, gugup, semua ada di situ. Pertama kali mengisi seminar, dan sekalinya langsung bareng penulis keren yang menginspirasi, dan pastinya sudah punya banyak penggemar.

Acara dimulai jam 10 pagi. Peserta seminar sudah berkumpul di lokasi sejak satu jam sebelumnya. Di ruang tunggu ada Mas Indra yang sudah datang lebih dulu dari aku. Sebelum masuk ke ruang seminar, aku sama Mas Indra saling berkenalan. Orangnya santai, asyik, dan ramah. Dan yang paling aku suka, Mas Indra ini selalu memberi kesan akrab meskipun baru pertama kali kenal.

10 menit ngobrol, akhirnya Mas Indra dipanggil untuk mengisi seminar lebih dulu. Beberapa menit kemudian, Mas Ega datang bersama salah satu anggota nulisbuku dari Surabaya yang bernama Mbak Nina. Aku sudah mengenal Mbak Nina sebelumnya. Jadilah Mbak Nina yang mengenalkan aku dan Mas Ega saat itu.

“Mas, kenalin ini Ravita. Dia salah satu penulis di nulisbuku juga,” kata Mbak Nina.

“Ohya? Hai, saya Ega,” kata Mas Ega sambil mengajak bersalaman.

“Saya Ravita,” sambil menyodorkan tangan sewajarnya.

“Bukumu judulnya apa?” tanya Mas Ega.

“You are My ABCD,” jawabku malu-malu.

“Oooh.., yang covernya warna-warni itu ya?”

“Hehehe. Iya, Mas.”

Dalam hati, seneng. Ternyata bukuku diingat sama foundernya nulisbuku. Hehehe.

Untuk kesekian kalinya, aku merasa beruntung karena kami bertiga bisa nyambung selama ngobrol. Aku juga nggak sungkan buat bercanda atau ketawa ngaMas di hadapan mereka. Setidaknya, aku terselamatkan dengan keramahan mereka.

“Jadi, bukumu ini ceritanya tentang apa?” tanya Mas Ega.

“Tentang perempuan yang jatuh cinta, tapi nggak berani bilang, dan beraninya cuman nulis,” jawabku takut salah.

“Ooooohh. Laki-lakinya teman sejurusan ya?” tanya Mas Ega datar.

“Hhhhhaaa?” aku terperanga. “Ini cuman fiksi kok, Mas” aku mencoba membenarkan. Ini bukan penyangkalan.

“Iya, saya tahu. Dibuku ini, laki-laki itu ceritanya teman sejurusan apa bukan?” Mas Ega menjebakku.
“Enggak lah, Mas. Ada-ada ajah,” kata ku.

“oooooo.., bukannn yaa. Terus, nanti dia dateng nggak di seminarmu? Dateng dong, ya kan?” Mas Ega memancing.

“Aduh, Mas. Apaan sih?” aku mulai salah tingkah.

“Semua laki-laki itu sama ajah. Dia pasti tahu kalau kamu nulis buku buat dia. Ya kan?” Mas Ega terus menggoda.

“Mas Ega apaan sih?” aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

“Dia pasti suka bola. Kalau nggak Real Madrid, pasti MU? Iya kan? Semua cowok itu sama ajah.”

Kali ini aku diam saja. Sambil menatapi Mbak Nina yang memainkan HP-nya sambil ikut-ikutan tertawa melihat nasibku.

Yang jelas, apapun yang kami hasilkan dari dialog ini, aku tidak masalah. Aku hanya senang bisa langsung akrab dengan orang yang baru aku kenal. Tidak biasanya kau begini.

Dalam perbincangan sambil menunggu waktuku mengisi seminar, Mbak Nina dan Mas Ega sempat menanyakan saran-saran dari aku untuk nulisbuku. Dan seperti sudah tercatat jelas di kepalaku, aku lancar saja menyebutkan satu persatu. Harapanku, semoga saranku bisa bermanfaat untuk ke depannya.
Aku juga menunjukkan bukuku kepada Mas Ega. Dan aku senang saat Mas Ega memuji design dan layout bukuku. “Kayak buku sungguhan,” katanya. Aku berharap ini bukan sekedar basa-basi. Mas Ega juga memuji beberapa kutipan yang aku tulis, sambil terus berkata, “Bagus ini. Serius. Bagus banget. Dia pasti seneng kalau tahu ini.”

Seseorang yang pernah kuliah di DESPRO, ITS (bisa dibilang kiblat dari jurusanku sekarang), memuji design-ku – selaku perempuan gampang galau yang design-nya sering ditertawakan. Hehe.

Ohya, aku dikasih buku lho sama Mas Ega. Horeeee. Gratisaaaan.
In The Eye of The Storm
Mungkin satu jam berlalu, namaku dipanggil. Akhirnya aku lepas dari pertanyaan-pertanyaan dari Mas Ega.

Aku masuk ruangan, lalu duduk satu sofa dengan Mas Indra Widjaya. Menerima pertanyaan-pertanyaan, lalu menjawabnya dengan sangat berusaha santai.

Di sela kesempatan, aku sempat mengobrol dengan Mas Indra.

“Serius. Aku gugup banget,” kataku sambil nunjukin tanganku yang dinginnya sebeku es.

“Waaah.., santai ajah. Kalo jadi penulis harus siap jawab pertanyaan-pertanyaan,’ jawabnya selalu ramah.

“Ini pertama kalinya aku. Biasanya ngomong di depan orang sebanyak ini bukan tentang nulis tapi tentang film.”

“Sekarang harus mulai terbiasa. Pokoknya, kalau ada pertanyaan tentang teknis dan kamu susah menjawab, jawab setahumu aja. Atau belokin ke jawaban lain. Penulis harus pinter.”

Sadar tidak sadar, aku belajar banyak dari Mas Indra. Dia seperti melatihku menjadi penulis professional yang mau tidak mau harus pandai berbicara – tidak hanya menulis.

Bertemu dan mengisi seminar dengan dua orang keren, sangat di luar dugaan. Ucapan-ucapan mereka sangat aku rekam dengan baik. Berjaga-jaga bila aku membutuhkannya suatu hari. Mereka berhasil menggiringku untuk terus berusaha medekat kepada mimpi-mimpiku.

Sekarang giliran nama Mas Ega dipanggil untuk masuk ruangan.
Kami bertiga resmi berada di satu ruangan dan satu sofa lebih tepatnya. Di sampingku ada penulis yang berhasil mengubah pengalaman sedihnya menjadi kebahagiaan hingga hari ini. Dan di sisi lainnya ada penulis yang berhasil melewati badai dengan selamat hingga hari ini.

Aku beruntung. Sangat beruntung.
sumber : twitter @nulisbuku
Di bagian akhir seminar, aku, Mas Indra, dan Mas Ega memberi pesan-pesan. Di bagian ini, aku merasa seperti penulis beneran. Hehehe. Sori lebay.
Ini pesanku. Seingatku, aku ngomong gini kurang lebih.

“Menerbitkan buku secara mayor atau self publishing – terutama self publishing, jangan pernah main-main. Meskipun nulisbuku menerima segala macam jenis naskah, tidak berarti kita selaku penulis bisa seenaknya menerbitkan karya. Berhati-hatilah. Berkarya sebaik dan semaksimal mungkin.”

“RETWEET,” kata Mas Indra Widjaya.

Seminar berakhir dengan suka cita (versiku. semoga semua begitu). Terima kasih atas banyak pengalamannya. Sampai bertemu lagi, orang-orang hebat.
Sebelum berpisah, foto dulu bareng buku dong!
Indra Widjaya

Brilliant Yotenega

Mas Indra Widjaya juga nyempetin waktunya buat twitpic bukuku lho. Baik banget, kan? :')
Aku kasih screenshot-nya nih saking apanya :3

Sewaktu masih duduk di bangku SMK, aku menulis mimpiku untuk mengisi seminar menulis, di binder yang selalu aku bawa ke mana-mana. Saat menulisnya, aku tidak tahu bagaimana caraku untuk menuju ke sana. Tapi yang aku tahu pasti, bahwa Tuhan selalu mengabulkan doa-doa baik yang selalu diusahakan. Terima kasih. Penantianku 2 tahun.


Semoga segera ada seminar-seminar lainnya. Sembari aku mempersiapkan diriku untuk terbiasa.

Terima kasih.

Jumat, 21 Maret 2014

Bukan Festival Biasa



Sebagai perayaan usianya yang pertama. Himpunan Mahasiswa Multimedia Broadcasting Politeknik Elektronika Negeri Surabaya menggelar Festival Seni dan Edukasi. Acara ini akan digelar di Kampus Politeknik Elektronika Negeri Surabaya pada tanggal 22-23 Maret 2014.

Cukup mengeluarkan 10 ribu rupiah. Pengunjung yang datang nanti akan dimanjakan dengan berbagai penampilan komunitas-komunitas dari Surabaya yang ada di sepanjang lokasi. Ada juga performance dari komunitas Multimedia Broadcasting yang menunjukkan kebolehannya secara langsung dalam “MMB Heritage”. Beberapa band indie, seperti: The Flinstone, Senandung Sore, Humi Dumi, Learn to Listen,The Spaghetties, The Classhat, ITS Jazz, dan EEPIS Reggae juga ikut meramaikan acara ini.

Jadi, tunggu apa lagi? Segera pesan tiketnya sekarang juga.

Video Promosi

Bukan Festival Biasa 
 

Kamis, 13 Maret 2014

Tuhan dan Aku Sayang Kamu

Membolos kuliah hari ini tidak aku rencanakan - walaupun aku melakukan persiapan. Aku bukan dokter atau dukun, tapi aku sama dengan manusia-manusia normal lainnya, yang mempunyai firasat kapan akan sakit.

Sebenarnya aku tidak ingin pamer bagaimana bisa aku sakit dan aku sedang sakit apa. Hanya saja, saat ini aku ingin berbagi cerita tentang hal-hal yang membuatku terus berpikir walaupun sedang sakit. Salah satunya, kedatanganmu...

"Mayoritas sakit itu disebabkan oleh pikiran. Apa kamu berpikir terlalu berat belakangan ini?" katamu yang sudah seperti manusia 2 profesi; dokter dan hakim.

"Kan kamu pernah bilang kalau aku nggak punya otak. Jadi, gimana mungkin aku bisa sakit karena terlalu banyak berpikir?"

"Benar juga. Kamu memang nggak pernah berpikir. Terus kenapa bisa sakit?"

"Sejak kapan penyebab sakitku bisa begitu penting buat kamu?"

"Penyebab sakitmu tidak begitu penting buat aku kalau kamu tidak memanggilku ke sini. Aku hanya berpikir bahwa kamu bukan sakit yang seperti biasanya."

Aku diam. Sambil terus menatapi teh panas yang berganti nama menjadi teh dingin. Aku tidak tahu apa yang mendasari diriku untuk menghubungimu di saat-saat seperti ini. 

"Aku mau men-stop publish bukuku."

"Maksudnya?"

"Menghentikan cetak bukuku. Entah apa istilahnya. Intinya, bukuku harus berhenti diterbitkan."

Sekarang kamu yang diam. Aku menatapimu, berusaha menerka apa yang kamu pikirkan.

"Boleh saja," katamu sambil membalas tatapanku.

"Kamu mendukungku?"

"Memangnya, sejak kapan aku tidak mendukungmu?"

"Terima kasih..."

"Lalu, kapan hari tepatnya pembunuhan itu berlangsung? Kapankah kamu, selaku orang tua, membunuh anakmu sendiri - yang bahkan belum sempat menjadi balita?"

"Aku tidak mau menjadi pembunuh. Kamu belum tahu kondisi yang sekarang. Aku bingung mesti gimana lagi."

"Aku tahu, sampai kapanpun kamu tidak akan pernah punya otak. Tapi setidaknya, untuk menjadi orang baik dan bijaksana, masih bisa menggunakan hati."




-14 Maret 2014-
Di antara Surabaya yang kadang gigil, kadang terik.

Rabu, 12 Maret 2014

Sabtu, 1 Maret 2014 di Oost Koffie and Thea.

Di hari itu, bukan pertama kali bagi saya mengikuti workshop menulis. Namun bisa menikmati musikalisasi puisi di akhir acara, menyuguhkan pengalaman yang berbeda. Workshop kali ini lebih menekankan pada pembahasan bagaimana cara menerbitkan buku secara mandiri. Acara berlangsung santai sehingga menudahkan pembicara dan peserta workshop untuk berbagi pengalaman. Selain itu, bagi penulis yang pernah menerbitkan bukunya, juga bisa saling mempromosikan buku kepada teman yang lain. Sangat menyenangkan bertemu dengan orang baru. Terlebih bertemu orang-orang yang memiliki mimpi serupa.



Tugas Kuliah - Dasar Jurnalistik #1

Selasa, 11 Maret 2014

Tiba-tiba Gersang #2

Ada yang mengalir dari setiap gelegar tawa
Ada yang gusar di setiap tepuk tangan yang terdengar
Seandainya ada yang bisa aku protes
Mungkin aku yang paling sering merayakan bahagia

Aku menulis agar tidak membunuh orang
Namun orang dengan aurat tertutup bisa membunuhku kapan saja
Aku menulis agar gerakan lidahku tertata rapi
Namun orang dengan ibadah yang tak pernah putus bisa dengan tega melakukannya

Tak ada tutorial yang mengajariku bagaimana membuat otakmu berpikir
Bahkan kitab yang setiap hari kau baca belum mampu membimbingmu
Aku tidak menyesal telah berbagi cerita
Hanya tiba-tiba gersang bila air mataku ditertawakan

Jumat, 07 Maret 2014

Tiba-tiba Gersang

Gerakku semakin tak leluasa
Namaku semakin didengar tidak nyaman
Jarak yang sudah jauh
Jangan ditambahkan dinding

Aku hidup di bawah perbincangan para senior
Aku membaur di antara teman angkatan dengan karakter yang belum kukenali
Aku berdiri di atas junior yang tersenyum dan menyapaku dengan arti entah
Semua tak dapat aku cegah bahkan tawar

Tawa yang liar adalah usaha memberitahu dunia bahwa aku baik-baik saja
Mata yang ramah sebagai ganti atas hal-hal yang belum aku dapat
Aku tidak menyesal telah mencinta
Hanya tiba-tiba gersang bila mereka hanya penasaran tentang hidupku