Surabaya,
22 Maret 2014.
Aku
mencoret catatan mimpiku lagi tahun ini. Isinya “Menjadi pembicara di workshop menulis”.
Walaupun
aku tahu kalau aku belum menjadi pembicara utama, namun ini tetap saja harus
digolongkan sebagai pembicara. Bukan begitu? Harus begitu dong. Hehehe.
Acara ini
diadakan di kampusku. Pembicara utamanya ada Indra Widjaya (Penulis buku Idol
Gagal dan Tulang Rusuk Susu) dan Brilliant Yotenega (founder nulisbuku.com).
Aku sendiri diminta untuk sharing tentang buku “You are My ABCD” yang baru saja
aku terbitkan. Senang, bangga, haru, gugup, semua ada di situ. Pertama kali
mengisi seminar, dan sekalinya langsung bareng penulis keren yang
menginspirasi, dan pastinya sudah punya banyak penggemar.
Acara
dimulai jam 10 pagi. Peserta seminar sudah berkumpul di lokasi sejak satu jam
sebelumnya. Di ruang tunggu ada Mas Indra yang sudah datang lebih dulu dari aku.
Sebelum masuk ke ruang seminar, aku sama Mas Indra saling berkenalan. Orangnya
santai, asyik, dan ramah. Dan yang paling aku suka, Mas Indra ini selalu memberi
kesan akrab meskipun baru pertama kali kenal.
10 menit
ngobrol, akhirnya Mas Indra dipanggil untuk mengisi seminar lebih dulu. Beberapa
menit kemudian, Mas Ega datang bersama salah satu anggota nulisbuku dari
Surabaya yang bernama Mbak Nina. Aku sudah mengenal Mbak Nina sebelumnya.
Jadilah Mbak Nina yang mengenalkan aku dan Mas Ega saat itu.
“Mas,
kenalin ini Ravita. Dia salah satu penulis di nulisbuku juga,” kata Mbak Nina.
“Ohya? Hai,
saya Ega,” kata Mas Ega sambil mengajak bersalaman.
“Saya
Ravita,” sambil menyodorkan tangan sewajarnya.
“Bukumu
judulnya apa?” tanya Mas Ega.
“You are My
ABCD,” jawabku malu-malu.
“Oooh..,
yang covernya warna-warni itu ya?”
“Hehehe.
Iya, Mas.”
Dalam hati,
seneng. Ternyata bukuku diingat sama foundernya nulisbuku. Hehehe.
Untuk
kesekian kalinya, aku merasa beruntung karena kami bertiga bisa nyambung selama
ngobrol. Aku juga nggak sungkan buat bercanda atau ketawa ngaMas di hadapan
mereka. Setidaknya, aku terselamatkan dengan keramahan mereka.
“Jadi,
bukumu ini ceritanya tentang apa?” tanya Mas Ega.
“Tentang
perempuan yang jatuh cinta, tapi nggak berani bilang, dan beraninya cuman nulis,”
jawabku takut salah.
“Ooooohh.
Laki-lakinya teman sejurusan ya?” tanya Mas Ega datar.
“Hhhhhaaa?” aku terperanga. “Ini cuman fiksi kok, Mas” aku mencoba
membenarkan. Ini bukan penyangkalan.
“Iya, saya tahu. Dibuku ini, laki-laki itu ceritanya teman
sejurusan apa bukan?” Mas Ega menjebakku.
“Enggak lah, Mas. Ada-ada ajah,” kata ku.
“oooooo.., bukannn yaa. Terus, nanti dia dateng nggak di
seminarmu? Dateng dong, ya kan?” Mas Ega memancing.
“Aduh, Mas. Apaan sih?” aku mulai salah tingkah.
“Semua laki-laki itu sama ajah. Dia pasti tahu kalau kamu
nulis buku buat dia. Ya kan?” Mas Ega terus menggoda.
“Mas Ega apaan sih?” aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Dia pasti suka bola. Kalau nggak Real Madrid, pasti MU? Iya
kan? Semua cowok itu sama ajah.”
Kali ini aku diam saja. Sambil menatapi Mbak Nina yang
memainkan HP-nya sambil ikut-ikutan tertawa melihat nasibku.
Yang jelas, apapun yang kami hasilkan dari dialog ini, aku
tidak masalah. Aku hanya senang bisa langsung akrab dengan orang yang baru aku
kenal. Tidak biasanya kau begini.
Dalam perbincangan sambil menunggu waktuku mengisi seminar,
Mbak Nina dan Mas Ega sempat menanyakan saran-saran dari aku untuk nulisbuku.
Dan seperti sudah tercatat jelas di kepalaku, aku lancar saja menyebutkan satu
persatu. Harapanku, semoga saranku bisa bermanfaat untuk ke depannya.
Aku juga menunjukkan bukuku kepada Mas Ega. Dan aku senang
saat Mas Ega memuji design dan layout bukuku. “Kayak buku sungguhan,” katanya.
Aku berharap ini bukan sekedar basa-basi. Mas Ega juga memuji beberapa kutipan
yang aku tulis, sambil terus berkata, “Bagus ini. Serius. Bagus banget. Dia
pasti seneng kalau tahu ini.”
Seseorang yang pernah kuliah di DESPRO, ITS (bisa dibilang
kiblat dari jurusanku sekarang), memuji design-ku – selaku perempuan gampang galau
yang design-nya sering ditertawakan. Hehe.
Ohya, aku dikasih buku lho sama Mas Ega. Horeeee. Gratisaaaan.
 |
In The Eye of The Storm |
Mungkin satu jam berlalu, namaku dipanggil. Akhirnya aku
lepas dari pertanyaan-pertanyaan dari Mas Ega.
Aku masuk ruangan, lalu duduk satu sofa dengan Mas Indra Widjaya.
Menerima pertanyaan-pertanyaan, lalu menjawabnya dengan sangat berusaha santai.
Di sela kesempatan, aku sempat mengobrol dengan Mas Indra.
“Serius. Aku gugup banget,” kataku sambil nunjukin tanganku
yang dinginnya sebeku es.
“Waaah.., santai ajah. Kalo jadi penulis harus siap jawab
pertanyaan-pertanyaan,’ jawabnya selalu ramah.
“Ini pertama kalinya aku. Biasanya ngomong di depan orang
sebanyak ini bukan tentang nulis tapi tentang film.”
“Sekarang harus mulai terbiasa. Pokoknya, kalau ada
pertanyaan tentang teknis dan kamu susah menjawab, jawab setahumu aja. Atau
belokin ke jawaban lain. Penulis harus pinter.”
Sadar tidak sadar, aku belajar banyak dari Mas Indra. Dia
seperti melatihku menjadi penulis professional yang mau tidak mau harus pandai
berbicara – tidak hanya menulis.
Bertemu dan mengisi seminar dengan dua orang keren, sangat di
luar dugaan. Ucapan-ucapan mereka sangat aku rekam dengan baik. Berjaga-jaga
bila aku membutuhkannya suatu hari. Mereka berhasil menggiringku untuk terus
berusaha medekat kepada mimpi-mimpiku.
Sekarang giliran nama Mas Ega dipanggil untuk masuk ruangan.
Kami bertiga resmi berada di satu ruangan dan satu sofa lebih
tepatnya. Di sampingku ada penulis yang berhasil mengubah pengalaman sedihnya
menjadi kebahagiaan hingga hari ini. Dan di sisi lainnya ada penulis yang
berhasil melewati badai dengan selamat hingga hari ini.
Aku beruntung. Sangat beruntung.
 |
sumber : twitter @nulisbuku |
Di bagian akhir seminar, aku, Mas Indra, dan Mas Ega memberi pesan-pesan. Di bagian ini, aku merasa seperti penulis beneran. Hehehe. Sori lebay.
Ini pesanku. Seingatku, aku ngomong gini kurang lebih.
“Menerbitkan buku secara mayor atau self publishing –
terutama self publishing, jangan pernah main-main. Meskipun nulisbuku menerima
segala macam jenis naskah, tidak berarti kita selaku penulis bisa seenaknya menerbitkan
karya. Berhati-hatilah. Berkarya sebaik dan semaksimal mungkin.”
“RETWEET,” kata Mas Indra Widjaya.
Seminar berakhir dengan suka cita (versiku. semoga semua begitu). Terima kasih atas banyak
pengalamannya. Sampai bertemu lagi, orang-orang hebat.
Sebelum berpisah, foto dulu bareng buku dong!
 |
Indra Widjaya |
 |
Brilliant Yotenega |
Mas Indra Widjaya juga nyempetin waktunya buat twitpic bukuku lho. Baik banget, kan? :')
 |
Aku kasih screenshot-nya nih saking apanya :3 |
Sewaktu masih duduk di bangku SMK, aku menulis mimpiku untuk
mengisi seminar menulis, di binder yang selalu aku bawa ke mana-mana. Saat
menulisnya, aku tidak tahu bagaimana caraku untuk menuju ke sana. Tapi yang aku
tahu pasti, bahwa Tuhan selalu mengabulkan doa-doa baik yang selalu diusahakan.
Terima kasih. Penantianku 2 tahun.
Semoga segera ada seminar-seminar lainnya. Sembari aku
mempersiapkan diriku untuk terbiasa.
Terima kasih.