Rabu, 21 Agustus 2013

Tidak Ada yang Berubah

Rindu itu tetap sama
Bergejolak, tanpa berhasil aku terbangkan
Cinta itu tetap sama
Menguat, tanpa berhasil aku kirim
Jika halaman pertama aku habisi
Maka selanjutnya dan sampai tamat pun
Akan selalu namamu di antaranya

Keadaan menciptakan jarak
Nada nadi menciptakan irama nama
Nafas udara menciptakan bulat kerinduan
Aku dan segala upayaku
Berjuang sekuat tenaga untuk membencimu
Namun tak pernah berhasil

Masih sama
Tidak ada yang berubah
Kamu masih kamu
Aku masih kamu
Kamu masih bersembunyi
Aku masih mencarimu


-Surabaya, 22 Agustus 2013-
Saat pesanmu memenuhi layarku, saat itu juga aku berharap rinduku berpaut. Semoga cepat sembuh... :)

Sabtu, 17 Agustus 2013

Uh!

Maaf, sudah sebulan lebih tidak di sini.
Ah, tapi untuk apa meminta maaf? Aku rasa tidak ada yang dirugikan apabila aku tidak nge-blog. Mungkin.., justru banyak yang merasa beruntung apabila aku tidak nge-blog. Yaaa..., setidaknya aku tidak menceritakan siapapun di sini.

Tapi keluar dari itu semua...
Entah perasaan apakah ini. Aku hanya merasa bersalah apabila sehari saja tidak menulis. Terlebih lagi banyak yang seharusnya ditulis, tapi tidak aku lakukan. Ya. Tidak semuanya harus diceritakan memang. Tapi... ah sudahlah. Yang jelas aku selalu merindukan tempat di sini. Sebuah tempat yang belum aku beri nama.

Di artikel pertamaku setelah sekian lama aku menggantung penaku, aku ingin bercerita. Sebuah rangkuman dari cerita panjang yang seharusnya tidak aku rangkum. Tapi aku terlanjur merelakan diri untuk terbunuh oleh keadaan, dan akhirnya aku harus merangkumnya.

Selama aku tidak berada di sini, aku bertemu dengan kejadian-kegiatan-pengalaman-pelajaran ajaib yang bisa disebut "Kerusuhan yang Mendidik". Ya. aku merasa terdidik. Jauh lebih terdidik daripada waktu aku menghabiskan bertahun-tahunku di meja belajar. Sebuah keadaan di mana aku dipaksa memilih banyak prioritas, untuk dijadikan prioritas.

Aku ingin mulai bercerita sejak aku bergabung dengan komunitas film yang ada di kampus yang aku ikuti hampir setahun. Sampai akhirnya aku dipilih untuk menjadi ketua dalam komunitas tersebut. Bangga? Tidak sama sekali. Selama aku belum memuaskan sebanyak-banyaknya orang.

Beberapa hari setelah masa penjabatanku (agak tinggi kedengarannya), kami diajak untuk bergabung dalam sebuah komunitas sosial yang menjunjung tinggi rasa Nasionalisme. Karena kami dari komunitas film dan mereka dari komunitas Nasionalisme (aku bingung menyebutnya dengan nama apa), akhirnya mereka yang lebih dulu mengenal kami, mengajak untuk membuat film tentang Nasionalisme.

Di antara tetek-mbengek pembuatan film tersebut, saya dapat menyimpulkan bahwa, "Sesederhana apapun sebuah film, tak akan pernah bisa disebut sederhana". Ya. Proposal kami terbang sampai ke walikota. Kami melibatkan banyak orang penting. Sangat menantang, tapi lebih banyak mengerikannya.

Dalam waktu yang bersamaan..., aku dan teman-teman dari komunitas film juga terlibat dalam kepanitian ospek tahun ini. Kami diharuskan mengikuti semua rapat-rapat itu. Dan untuk masalah prioritas, tentu tidak ada yang mau dinomorduakan. Semua mendesak.

Dan mereka mulai menatapku. Tajam. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Namun suara hatinya sampai di gendang telingaku. Maaf. Maaf. Maaf. Aku memang yang salah. Seharusnya aku tidak menerima tawaran kerja sama ini. Walaupun kami menyetujuinya bersama-sama, tapi tetap aku yang salah. Aku tahu kata maafku tidak akan pernah cukup untuk mengganti begadangnya kalian hingga subuh.

Terlebih, kita melakukan ini di saat-saat bulan Ramadhan. Mereka merajuk kepadaku sambil berkata, Harusnya di bulan baik seperti ini, kita tidak sesibuk ini". Uuuuhhh. Maaf. Bahkan aku tidak pernah berfikir untuk menghalangi ibadah siapapun. Aku berfikir bahwa kalian senang. Aku tidak pernah berfikir apabila kalian lelah, kalian aku menyalahkanku. Tapi... ah. tetap ini salahku.

Aku bukan pemimpin yang baik. Tapi tidak ada seorang pemimpin yang rela membiarkan orang lain merugi. Bila sanggup aku peluk, aku lindungi. Dan bila tanganku sampai menjangkau, akan aku rengkuh setiap detailnya. Aku mengerti bahwa aku tidak pernah benar. Namun bila aku disalahkan, tentu aku merasa kecewa.

Deadline, protes, angin malam, teriakkan, jauh lebih kejam daripada sebilah pedang yang dihujam ke jantung. Aku jatuh sakit, namun tetap harus terlihat sehat. Biarlah aku sakit. Anggap saja ini karma untukku, sebab aku telah menyita banyak waktu tidur teman-temanku. Ini salahku. Membiarkan teman-temanku membantuku menyelesaikan ini. Dan yang lebih parahnya lagi. Kabar ini sampai ke telinga-telinga warga kampus. Entahlah.

Maafku yang pertama untuk Tuhan. Salahku begitu menumpuk, dan aku tumpuk lagi. Lalu maaf untuk teman-teman yang sudah aku bikin lelah. Lalu maaf untuk proyek film yang belum selesai. Lalu maaf untuk rapat dan latihan ospek yang aku tinggalkan. Lalu maaf untuk komunitas sosialku yang lain. Lalu maaf untuk adik-adik kecilku. Mungkin kalian menyesal memiliki pengajar sepertiku. Lalu maaf untuk keluargaku yang jarang bertemu denganku walaupun setiap hari aku pulang ke rumah. Mungkin keluargaku sebal melihatku yang hanya pulang untuk mampir makan, mandi, dan tidur. Lalu maaf untuk janji-janji bersama teman-teman yang aku ingkari. Lalu maaf untuk deadline yang aku acuhkan. Lalu maaf untuk sahabat-sahabat yang merelakan diri untuk melihatku menangis di depannya. Lalu maaf untuk... semuanya. Ya. Semuanya.

Semoga dengan ini, aku bisa menjadi lebih baik. Dalam bertanggung jawab, mengambil keputusan, dan melindungi setiap nafas di punggungku. Aku pasti bisa melewati semua ini. Sebab Tuhan memberikan ini, tentu dengan alasan.

Terima kasih. Dan sekali lagi maaf. Untuk celotehanku yang tidak pernah jelas. Semoga kalian tidak menyesal. :*