Sabtu, 30 Maret 2013

Buat Kalian :*

Perlahan, satu-satu persatu dari mereka seolah pergi dari hidupku.
Peribahasa "Ada gula ada semut", selamanya akan berlaku. Keadaan di mana aku harus menghebat diriku sendiri, agar mereka selaku semut, mendekatiku.
Bila aku tidak ingin melihat mereka menjauh, aku harus semakin berupaya tak boleh terjatuh.

Bila bencana datang, mereka akan semakin menjauh, dan tak terlihat sama sekali. Itu tidak masalah. Hak mereka untuk berteman pada siapapun. Tohh, mana ada orang yang mau berteman dengan orang semacam aku? Yang sedikitpun belum pernah meraih kesuksesan. Iya kan?

Ini bukan kebencian dariku. Aku tidak mungkin membenci kalian. Janjiku adalah menyayangi semua yang telah Tuhan hadirkan di hidupku, termasuk kalian, teman-temanku. Sebagaimana upayaku untuk bersatu, tak akan mungkin tercapai bila kalian tidak berkeinginan seperti itu. Sudahlah. Aku ingin berpositive thinking saja. Tidak baik berfikir macam-macam.

Kalau harus melewati jalan terjal sendiri, biarlah. Bila jalanku telah halus dan nyaman, kalian boleh datang. Dan aku berjanji untuk tidak akan mengusir kalian seperti yang saat ini kalian lakukan padaku.

Aku berusaha untuk tidak takut berjalan sendiri. Bukankah semua orang pada akhirnya pasti akan hidup sendiri?

Jumat, 29 Maret 2013

Batas Keyakinan

Ada sebuah batas, yang disebut batas keyakinan. Di mana aku berada di baliknya, sedangkan kamu  di sisi yang lain.

Bagaimana mungkin aku dan kamu mencinta? Sedangkan mengenal, lalu menyapa, dan memutuskan bersama saja, seharusnya tidak.

Satu hal yang tidak kumengerti. Mengapa ada beda bila tidak untuk dibuat menjadi sama? Bukan dipecahkan, lalu semakin dipisahkan.

Aku dan kamu tetap bertahan dalam pertahanan yang tertahan, mempertahankan 2 hal. Aku mempertahan kamu dan keyakinanku. Sedangkan kamu mempertahankan aku dan keyakinanmu.

Hingga akhirnya...
Aku dan kamu harus memilih.
Dan selamanya, aku dan kamu tak akan menjadi kita, sebelum semuanya sama, meskipun telah bersama.

Sungguh tak ada penyesalan saat aku dan kamu bertemu, lalu bersatu meski tak menjadi satu. Juga tak ada sesal, saat aku dan kamu berjuang mati-matian untuk bertahan, mempertahankan tanpa saling merusak satu sama lain.
Aku juga tidak pernah menyesal terlahir dengan keyakinanku. Yang aku sesalkan hanyalah, mengapa kita berbeda?

Kamis, 28 Maret 2013

Aku Pernah Mencintaimu

Aku...
Memujimu hingga terdengar seperti pengemis
Membelamu, mengistimewakanmu tanpa peduli keadaan
Menjadikanmu topik utama saat berkumpul dengan teman-temanku
Memandang langit senja yang begitu indah, sambil melukiskan wajahmu di antaranya
Mengemas senyummu di pagi hari, untuk penyemangat sepanjang hari
Memutar rekaman suaramu untuk kujadikan senandung tidurku
Meyakini bahwa aku yang terbaik untukmu, dan sebaliknya
Memperjuangkanmu, meski tau sedang jatuh cinta sendirian...

Aku pernah melakukannya untukmu, hanya untukmu
Aku pernah menaruh rasa yang begitu hebatnya
Terlelap, terlempar dari bayang mimpi
Kini aku sadar dan mulai menertawakan diriku sendiri
Menyadari betapa bodohnya ketika aku sedang jatuh cinta
Merelakan segenap hati untuk seseorang
Yang bahkan tak memiliki waktu sedetikpun untuk melihatku

Kini...
Tak ada lagi puisi tentang rinduku untuk bisa berada di sampingmu
Tak ada lagi puisi tentang cemburuku melihatmu jatuh cinta dengan yang lain

Aku pernah mencintaimu
Mengartikan bahwa dulu cintaku begitu tulus
Namun kau sia-siakan tanpa ada kesempatan
Aku pernah mencintaimu
Mengartikan bahwa kata "pernah"
Adalah keputusanku untuk tidak ada cinta lagi sekarang

Minggu, 24 Maret 2013

Senja di Sampingmu

"Seperti adegan film."
"Iya. Kita yang jadi tokoh utamanya."
Seperti sebelumnya, selalu ada canda di antara obrolan kita. Hingga nyaris tak terbaca pada bagian mana yang sebenarnya sangat serius.
"Aku serius, aku nggak apa-apa. Kalo kamu kayak gini terus, malah aku yang kenapa-kenapa."
"Kamu kenapa sih?"
"Tapi kalaupun nantinya dugaanku benar, kamu jalan ajah terus. Aku nggak apa-apa, nungguin yang lain jemput aku."
Aku terus bicara, dan dia terus meneguk minumannya pelan-pelan. Aku berani bersumpah bahwa dia tidak haus. Hanya tidak ingin terlihat canggung pada pembicaraan yang paling serius ini.
"Kamu suka dia?" kali ini aku berusaha terdengar tegar, meski tau suaraku justru terdengar parau.
"Hahaha. Enggak lah, Rav." Seharusnya kamu tidak tertawa pada bagian ini.
"Perasaan orang mudah berubah. Kalo nantinya iya, aku cuma pengen bilang sekali lagi kalo aku nggak apa-apa."
"Enggak lah, ya ampun."
Sejujurnya kita tidak pernah seperti ini. Bila sebelumnya kita memilih saling diam, menerka apa yang ada dalam hati. Kali ini aku yang mencoba memulai pembicaraan. Meski tau bahwa kamu berulang kali mengalihkan pandangan. Namun seharusnya kamu juga tau bahwa aku haus akan penjelasan.
Tentang sakit hati, tentang move on, semua bisa dengan cepat dilakukan apabila kejelasan telah aku genggam. Mengenai keikhlasan, semoga aku tidak mengalami kesulitan untuk ini. Bukankah kamu sendiri yang mengatakan, "Tidak semua yang kita inginkan menjadi takdir untuk kita miliki?"
Matahari mulai tenggelam, terlihat dari balik perpustakaan. Menjelaskan bahwa sebentar lagi akan gelap. Kita yang semula berada di lantai 3, harus turun dan segera pulang. Senja kali ini berbeda. Ada banyak harga yang harus aku beli untuk hal ini. Mulai dari harga atas keberanian, hingga ketegaran mendengar sebuah jawaban. Tapi sebenarnya, aku tidak terlalu memikirkan apa yang nantinya akan terjadi. Bukan itu pokok utama permasalahannya. Yang aku pikirkan adalah, bagaimana aku melewati semua ini tanpa merasa bersalah pada siapapun. Mengobati luka hati yang ada di sini, jauh lebih mudah dari pada menyembuhkan luka hati orang lain.
Aku tidak apa-apa, sungguh. Walaupun sebenarnya hatiku terluka, itu tidak masalah. Lebih baik ada satu hati yang terluka, dari pada tiga.

Sabtu, 23 Maret 2013

Mengartikan Bahasamu

Membaca bahasa yang tak tertulis
Mendengar bahasa yang tak terucap
Memahami bahasa yang kabur
Kini telah cukup alasanku untuk pergi
Tak peduli berapa cabikan di hati
Asal aku dapat mengabulkan inginmu

Tak ada lagi langkah kaki yang berjalan seirama
Menjelaskan segala sedih yang tertahan
Bahwa yang terjauh hanyalah menjangkau hatimu
Tak perlulah kau takut aku mengungkitnya kembali
Telah aku simpan pada kotak merah yang mulai membiru
Kubiarkan membeku, mati rasa, meski terus mengoyak

Jika kamu adalah diam
Maka aku adalah orang yang mendengarmu
Jika diammu adalah keinginan menjauh
Maka diamku adalah tanda bahwa aku tak lagi mendekat
Kau lihat? Aku sudah cukup memahamimu...

Aku Bodoh...

Aku masih takut menatap matamu di antara perbincangan kita. Takut kamu memahami binaran mataku yang mencintaimu berlebih.

Kamu datang sebentar, lalu pergi. Barangkali kamu memang tercipta untuk mengajarkanku tentang keikhlasan.

Tidak semua yang hadir di hidupku adalah milikku. Jadi, bisakah aku merelakannya tanpa merasa kehilangan?

Kemarin lusa aku mencintaimu. Kemarin aku mencintaimu. Hari ini aku mencintaimu. Semoga besok dan seterusnya aku bisa menyisipkan kata "tidak" pada kalimatku.

Berjuang mati-matian membunuhmu dalam pikiranku, berarti semakin meluangkan waktuku untuk mengingatmu. Aku bodoh.

Sesekali mengelus dada saat berada di sampingmu. Agar kamu tidak mendengar detakan yang ada di sana.

Apa aku bodoh apabila aku pernah membayangkan, suatu hari nanti kita menghabiskan masa tua di teras rumah kita?

Terlanjur ada banyak kata yang belum tersampai. Hingga akhirnya harus tertelan sendirian meski tak ingin aku menelannya.

Apabila dirimu sedang gusar dalam sedih. Sesungguhnya ada hati yang mendoakanmu, memelukmu dari jauh. Aku.

Aku tau bahwa kamu merasa bahwa aku mencintaimu. Aku juga tau bahwa kamu..... Ah sudahlah. Aku tidak apa-apa. Sungguh.

Sebuah cinta yang ingin aku tumbuhkan abadi, harus aku leburkan dengan mudah, semudah kamu pergi sebelum menyempatkan datang.

Aku Merasakannya Lagi

Seperti merasakan sesuatu yang lama sekali tidak aku rasakan. Bahkan aku merasa tidak percaya bisa merasakannnya lagi. Seperti mengulang, sesuatu yang sama sekali tidak pernah terlintas untuk bisa aku ulang. Ya. Aku seperti mendapatkan suara tawa itu lagi. Dari sumber yang berbeda, namun tawa lepasnya membuatku terbang ke kejadian setahun lalu.

Hari itu kita kuliah. Lutfi, salah satu teman sekelasku membawa contoh video animasi Culoboyo Junior. Episodenya pas banget sama yang waktu itu aku dubbing sama temen2ku. Jadi gini, dulu sewaktu SMK aku pernah dapat tugas untuk dubbing suara di film kartun. Aku sama kelompokku (Wike, Shinta, Mami, Uti), milih dubbing Culoboyo Juniol. Wike jadi Culo, Shinta jadi Boyo, Mami jadi narator, Uti jadi Pak Toh, kalo aku sendiri jadi editornya. Suara mereka aku jadiin kayak anak kecil, nah kalo suaranya Uti aku jadiin kayak kakek tua. Sewaktu diputer di kelas, teman-temanku ketawa. Suara ketawanya, sama persis waktu kemaren itu.

Tapi kemarin aku nggak ikut ketawa. Aku yang duduk dideretan paling belakang, cuman ngeliatin teman-temanku yang ketawa sambil niruin gaya bicara yang ada di film itu. Mungkin terdengar berlebihan. Tapi aku merasa terharu kemarin. Seperti memutar kembali film yang sudah lama. Seperti merasakan bahwa mereka semua ada di sini. Di akhir-akhir film, mereka semakin keras ketawanya. Persis banget sama yang setahun lalu. Cuman kondisinya ajah yang beda. Dulu aku masih pake seragam, sekarang udah pake baju bebas. Itu ajah.

Entah aku yang berusaha menyamakan, atau apalah, aku tidak tau. Tapi mungkin aku sedang merindukan semasa putih-abuabu ku yang begitu menyenangkan. Sama. Di sini juga menyenangkan. Mereka, teman SMK-ku, dan mereka, teman kuliahku. Sama-sama aku sayangi, dan sama-sama selalu aku rindukan. Mereka semua, sama-sama memberiku banyak hal yang belum pernah aku dapat sebelumnya.
Aku tidak dapat membayangkan betapa berantakannya hidupku, bila tidak bertemu mereka semua...

Senin, 18 Maret 2013

Selamat Pagi, Tengah Malam...

01:18
Aku masih terjaga. Kalau dibilang tidak bisa tidur, padahal aku mengantuk. Kalau dibilang ingin tidur, namun aku belum bisa tidur.
"Aku nggak tidur malem kok, tapi aku tidur pagi." Itu kalimat jawaban yang aku gunakan saat ibuku teriak-teriak nyuruh aku tidur.
Entahlah. Padahal aku tidak sedang menunggu siapapun. Namun dalam pikiranku, apabila aku tidur sekarang, aku pasti akan melewatkan sesuatu. Apa itu, aku juga tidak tau. Aku hanya belum bisa tidur sekarang.

Selamat pagi, tengah malam...
Adakah seseorang aneh lainnya seperti aku? Yang hati dan pikirannya sedang tidak sejalan. Bahkan untuk tidur saja harus berfikir berulang-ulang.

Selamat pagi, tengah malam...
Seseorang yang sedang menjadi seseorangku, sepertinya kau telah terlelap di tempatmu. Apakah merasakan ketenangan yang aku usahakan untuk menenangkanmu? Apakah merasakan aku sedang memelukmu jauh? Terus terang, mengetahui kau terlelap saja, sudah menjadikan kekuatan untuk organ-organku yang sebenarnya butuh istirahat namun belum ingin istirahat.

Selamat pagi, tengah malam...
Sebaiknya kita cukupkan celotehan ini. Bagaimanpun juga, ketenangan hati dan diri harus diutamakan. Jangan terlalu banyak menunggu. Karena organ tubuhku juga tentu menungguku untuk menidurkan diri.

Selamat pagi, tengah malam...
Semoga Tuhan menjaga kita semua dalam penjagaan-Nya yang tulus, suci, dan tak terbatas. Aamiin.

Sabtu, 16 Maret 2013

Melangkahlah Seperti Bumi yang Terus Berputar

Aku kamu berjalan ke arah yang berbeda
Berpapasan, tak saling sapa
Hingga akhirnya bergerak menjauh
Sekali kutengok ke belakang
Namun dirimu tak terlihat sama sekali

Sejenak langkah terhenti
Haruskah kukejar dirimu
Yang berarti harus kulepas tujuanku
Aku berdiam di persimpangan
Berharap kamu berbalik, berlari ke arahku

Telah lama aku menunggu, menghentikan langkah
Meyakini bahwa yang menjauh akan mendekat
Namun bumi terus berputar
Dan aku akan terjatuh bila berhenti
Mimpi akan terkubur bila harapan lebih besar dari tindakan

Kini aku mulai bergerak, melanjutkan langkah
Karena kamu telah menemukan mimpimu yang bukan aku
Maka aku harus menemukan mimpiku yang selain kamu
Hidup masih berjalan, tak ada yang tertinggal
Dan aku akan menemukan mimpi yang memimpikanku

Jumat, 15 Maret 2013

"Dia nggak sayang sama kamu."

"Bukan nggak sayang. Tapi belum."

"Kamu berharap?"

"Adakah wanita yang tidak mengharapkan dicintai kembali?"

"Kamu menunggu?"

"Enggak, aku hanya berjalan sesuai relku saja."
"Mereka berdua cocok yaa."

"Siapa?"

"Itu, mereka."

"Ohh.., mereka? Iya... Iya, mereka cocok." Semoga tidak ada yang mendengar nafas panjangku.

Selasa, 12 Maret 2013

Sekarang Kamu di Mana?

Secangkir teh hangat
Semangkuk mie rebus
Gerimis dikala senja
Dan lagu favoritmu
Hal-hal kecil yang pernah kita anggap romantis
Sekarang kamu di mana?

Selamat pagi
Selamat siang
Selamat sore
Selamat malam
Sebuah kalimat sederhana yang selalu aku istimewakan
Sekarang kamu di mana?

"Jangan males nulis!"
"Kalau bikin kalimat yang masuk akal dong!"
"Kalimat awal itu harus penuh ledakan, biar bikin orang penasaran bacanya!"
"Sehari 2 lembar, 3 bulan sudah jadi buku."
"EYD sama tanda bacanya berantakan."
Komentar pedas yang tak pernah absen mampir ke telingaku
Sekarang kamu di mana?

Saat aku kecewa
Saat aku sedih
Saat aku menangis
Tangan yang bertugas menghapus air mataku
Bahu yang bertugas menopangku
Sekarang kamu di mana?

Cintaku Tidak Hilang

Cintaku tidak hilang
Karena memang tak pernah ada cinta
Kata-kata cinta yang selama ini tertera
Tidak selalu untukmu
Jika kau berfikir terarah untukmu
Itu hanyalah perasaanmu saja
Aku hanya menulis, tidak harus merasakan

Cintaku tidak hilang
Karena memang dirimu tak pernah bersemayam di hatiku
Rindu dan cemburu yang pernah tertulis
Hanyalah kiasan demi sebait puisi
Tidak harus tentangku, tidak harus tentangmu

Cintaku tidak hilang
Karena memang tak pernah ada getaran di hatiku untukmu
Jika kau berfikir aku sedang mempermainkanmu
Jika kau berfikir aku sedang berbohong
Itu adalah pilihanmu untuk berfikir
Dan seharusnya kau tau
Aku menulis, tak hanya nyata, tentangmu...

Senin, 11 Maret 2013

Malam yang dingin
Bergerak menuju
Pagi yang sejuk
Siang yang cerah
Dan senja yang hangat
Apa kau lihat dan merasakan?
Aku sedang menikmati hidup tanpamu...

Sabtu, 09 Maret 2013

Ayah Ibuk

Ini waktu aku lagi liburan semester, kita jalan-jalan iseng waktu hari Minggu. Diantara gedung-gedung pencakar langit, nyatanya masih ada tempat yang bagus dan meneduhkan di Surabaya.

Sejujurnya, waktu aku lagi motret mereka, aku jadi pengen cepet-cepet dipersatukan dengan jodohku. :'). Semoga segera ya, aamiin..... :')




Ini Asli MKKB

Noohh! Udah Kayak Model Modal Madul
Ayah Galau


Foto Pertama di Semester 2

Ini foto pertama kita di semeter 2. Kita foto-foto seperti ini, waktu lagi stress mikirin programming. Kita memilih membuka Photo Booth, daripada XCode.

Meskipun di sini terlihat jelek (bukan wajah sebenarnya), namun setidaknya kita bahagia melihat wajah yang seperti itu. Ngilangin stress banget deh. Di sini ada Febri, aku, Riza, sama Fadly.

Febri curang nggak kena
Ini Riza curang yang nggak kena



Selamat Datang Semester 2 :)

Udah seminggu menjalani semester 2. Banyak hal-hal baru yang aku dapet di sini. Terutama masalah materi kuliah. Kalau masalah sama temen sekelas, jujur aja sih, ya nggak ngerti kenapa, di semester 2 ini aku merasa semakin jauh dengan teman-temanku yang dulu begitu dekat. Entahlah. Tapi mereka yang dulu begitu dekat, tanpa ada rasa canggung, sekarang malah berbalik seperti jaauuuuhhh sekali. Kalaupun mereka memang menjauh dari aku, ya bukan mereka yang salah. Tapi aku yang salah. Seharusnya aku lebih memahami "cara bermain" mereka.

Well, kali ini kita fokus ajah bahas masalah kuliah. Di semester 2 ini, banyak dosen yang baru. Istilah baru di sini, maksudnya baru mengajar. Ada juga beberapa dosen yang mengajar kita lagi. Ohya, ini aku ada jadwal kita di semester 2.
Di sana ada beberapa mata kuliah yang bisa diterima dengan otak standart seperti saya, ada juga yang musti benar-benar-benar-benar mempelajarinya dengan benar-benar. Aku sih paling suka sama Story-telling. Tapi cuman 2 sks. Yang lainnya yang susah-susah? Bussyyyyetttt... Tapi ya, enjoy aja lah. Multimedia Broadcasting itu seneng-seneng, bukan galau (ini versinya dia).

Kalau tentang dosennya. Aku tetep bersyukur sih. Setelah berkenalan dengan dosen yang baru, ada salah satu dosen yang cara berfikirnya bagus banget. Aku suka. Beliau ini kurang lebih jalan fikirannya sama kayak aku (tapi masih bagusan dosenku sih. Aku mah belum ada apa-apanya). Beliau ini peduli dengan hal yang sederhana, seperti listrik yang menyala sia-sia, lab yang kotor, dan yang paling penting, beliau ini melarang keras seseorang untuk saling membenci. Bagiku, sangat jarang ada orang yang peduli dengan lingkungan. Beliau lebih menyuruh kita untuk intropeksi diri. Hmm, Maaf. Tapi kalau aku boleh melihat, dosenku yang satu ini seperti memiliki trauma tersendiri di dirinya. Maaf lagi. Bukannya aku sok-sokan jadi peramal. Tapi kalau aku liat cara beliau bercerita dan menasehati kami, ada ekspresi seperti pernah merasakan suatu trauma atau kesedihan yang membawanya bisa berbuat baik seperti ini. Seperti pernah menjadi korban bullying, kalo aku liat. Maaf. Sekali lagi ini hanya presepsiku.

Lanjut ke dosen baru selanjutnya. Ada dosen fotografi yang kebaikannya sudah sangat terlihat di hari pertama. Beliau benar-benar mengajari dari "NOL", dan selalu menghargai setiap karya yang ada. Jujur ajah, aku nggak suka banget sama fotografi. Tapi karena beliau cara mengajarnya bikin aku jatuh cinta, yaaa akhirnya aku suka deh. Ohya, waktu hari pertama, ada tugas motret apapun yang ada disekitar lantai 3. Dan karena (sumpah) aku nggak ngerti apapun tentang fotografi (sewaktu SMK cuman 1 kali teori 1 kali praktek). Mlempem banget. Jadi waktu ada tugas itu aku hanya berbekal yang namanya "perasaan" dan "selera". Jadi kalo menurut seleraku bagus, ya yang itu yang aku ambil. Waktu itu aku motret sepatuku sendiri. Tapi ternyata kata dosenku bagus. Fokusnya pas, angel-nya pas, komposisinya pas. Hahahaha. Sepertinya hari itu memang "kebetulan" beruntung, atau dosennya pengen menghibur aku? Entahlah. Tapi kata dosenku bagus kok. Ada juga temen yang nyeplos "Ya iya lah, Ravita anak broadcast." Padahal nggak ada hubungannya sama sekali. Ahh, itu hanyalah omongan orang putus asa. Daaannn, di sini aku dapat mengambil kesimpulan, "Dalam fotografi, tidak hanya dibutuhkan pengetahuan. Namun juga selera yang tinggi." Aku tidak bilang seleraku tinggi lho yaa. Namun ada banyak makna terselubung dalam kesimpulan barusan. Ngakakakakaa. :p (Ya Allah, maafkan hamba)

Seperti sifat teman-teman sekelasku, sifat dosen kami pun berbeda-beda. Dan sebagai mahasiswa yang baik, kita harus mampu menyesuaikan diri dalam berbagai keadaan.

Harapanku di semester ini, semoga lebih baik lagi. Lebih bersahabat dengan semuanya. Semoga juga, di semester 2 ini, si dia semakin...... (jangan lanjutin)
Oh iya, aku juga pengen bilang kalau aku sayang sama semua teman-teman sekelasku, tanpa terkecuali. Yaaaaa, walaupun mungkin ada satu yang spesial, tapi aku tetep sayaaaaannng sama semuanya. :)

Okeee, aku tutup sampai di sini. :)

Jumat, 08 Maret 2013

Jangan...

Jangan menjauh. Karena aku tak ada rencana untuk mendekatimu.
Jangan bersembunyi. Karena mencarimu tidak pernah ada dalam agendaku.
Jangan berlari. Karena sedikitpun tak ada niatku untuk mengejarmu.
Jangan berpaling. Karena memandangmu saja aku tidak pernah.
Jangan membenciku. Karena perkiraan bahwa aku mencintaimu, hanya ada di dalam pikiranmu.
Jangan percaya mereka. Karena mereka yang mengatakan bahwa aku mencintaimu, hanyalah perkumpulan orang-orang yang tidak kesampaian menjadi wartawan gosip.
Jangan menyimpulkan dari tulisan-tulisanku. Karena aku hanya menulis, dan tidak semua tentangmu.
Jangan bingung. Karena apabila aku mencintaimu pun, tak berarti aku berniat untuk menginginkanmu.
Jangan terlalu berlebihan menilaiku. Karena itu akan mengubahmu menjadi orang yang terlalu percaya diri (baca: GR OVERLOAD).

Tak Seorang Pun Berhak Mem-BULLY

Tiba-tiba aku mengingat...
Cerita tentang remaja SMK yang berada dilingkungan baru. Sebuah lingkungan yang diharapkan mampu membawa hidupnya lebih baik lagi. Sebuah lingkungan yang diharapkan bisa menerimanya, seperti dia yang menerima apapun yang ada di sini.
Namun kebencian tidak selalu beralasan. Rasa benci tidak hadir dari seseorang yang dibenci. Namun hadir dalam diri seseorang yang memiliki kebencian, dan semakin memeliharanya. Ya. Rasa benci yang ada di dalam diri itu sebenarnya tidak ada. Hanya saja diri itu yang memeliharanya, dan menjadikannya ada.
Sama seperti remaja SMK itu. Tidak benar-benar tau mengapa dibenci, diabaikan, dan tidak dianggap. Yang dirasa hanyalah; semuanya jauh dan semakin menjauh. Lingkungan baru yang diharapkan bisa mendukungnya, ternyata malah berusaha menendangnya. Kenapa? Kenapa remaja itu begitu tidak disukai? Apakah karena dia bodoh? Lantas bagaimana bisa mengambil kesimpulan bahwa dia bodoh? Sedangkan kesempatan saja tidak pernah kalian beri untuknya. Terbukti ketika ada lomba dikelas dan remaja itu ingin mengikutinya, namun kalian malah tidak mengizinkan dia ikut. Dan ketika pembagian kelompok untuk tugas, adakah yang mengajaknya? Entahlah. Padahal itu baru-baru awal masuk sekolah, awal berkenalan, dan kalian kompak membecinya? Miris sekali.

Remaja yang berusaha untuk tangguh itu mulai bangkit. Tidak mungkin bersedih terlalu lama. Tidak mungkin juga memaksa seseorang untuk menyukai dirinya. Dia mulai berusaha untuk membuat orang lain percaya akan dirinya. Yang dia lakukan sederhana, seperti mengikuti komunitas di luar sekolah yang bisa menerima. Komunitas yang dia ikuti adalah komunitas menulis. Dan di sana ada banyak lomba-lomba yang mendukungnya. Karena latihan yang begitu keras, akhirnya remaja itu berhasil memenangkan beberapa lomba, dan mendapat kesempatan menulis buku.

Kini pemandangan berbeda ada di kelasnya. Teman-teman yang dulu begitu tidak menganggapnya, kini mulai banyak yang mendekati. Bahkan tidak jarang diantara mereka minta bantuan kepada seorang yang pernah dibully tersebut. Dan remaja yang menjadi korban bullying itu benar-benar tulus memaafkan meskipun tak pernah terdengar satu kata maaf pun. Kini dia memiliki teman semakin banyak. Dan sering berebut untuk berteman dengannya.

Tak terasa, hari kelulusan tiba. Ternyata korban bullying itu mendapat peringkat pertama dan mendapat penghargaan saat wisuda. Selain itu, dia juga berhasil menerima beasiswa di perguruan negeri. Dia diterima sendirian, tidak bersama teman-temannya. Teman-teman yang dulu sering membully, tidak dapat diterima di universitas pilihannya. Mungkin mereka tidak percaya. Teman yang dulu begitu dianggap bodoh, kini melenggang dan menari-menari menuju kampus impiannya dengan membawa piala.

Kini, remaja itu masih berusaha menjadi lebih baik lagi. Berjanji untuk tidak akan balas dendam dengan siapapun, dan berjanji untuk tidak akan sombong. Karena bagaimanpun juga, semuanya adalah pemberian Tuhan. Kini... remaja itu sedang berusaha untuk bermetamorfosis menjadi seorang wanita. Wanita yang dewasa, penuh kasih, dan tangguh. Mendapat perlakuan baik itu tidak harus. Namun memberi perlakuan baik itu harus. Harus bagi jiwa yang berfikir.


Pesan dari cerita nyata tersebut adalah...
Kita tidak boleh menganggap rendah orang lain. Bullying tidak hanya kekerasan fisik. Namun juga kekerasan batin. Luka ditubuh kita, bisa saja terobati. Namun dokter mana yang mampu mengobati luka batin dengan lekas tanpa sisa? Siapapun, tidak berhak melakukan bullying kepada orang lain dalam bentuk apapun. Meskipun korban bullying tidak pernah berdoa untuk keburukan sang pelaku bullying, tetap saja Tuhan mendengar jeritan hati yang tak tersampaikan. Tuhan Sang Maha Pencipta, tak akan membiarkan hambanya tertindas. Pelaku bullying juga tidak akan pernah menjadi orang sukses. Pelaku bullying hanya dapat melihat korbannya berada dipuncak kesuksesan. Pelaku bullying tidak akan pernah ada yang sukses. Tidak pernah. Karena dia hanya bekerja untuk menjatuhkan orang lain, tanpa berusaha memajukan dirinya sendiri.

Dan...
Teruntuk korban bullying. Jangan pernah takut. Tuhan tak mungkin membiarkanmu berada dikeadaan tertindas selamanya. Tetaplah berbuat baik. Semakin dibully, semakin tangguhlah untuk membuktikan bahwa kamu tidak pantas mendapat perlakuan itu. Pergilah ke tempat suksesmu, lalu gapai bintangmu. Tak peduli berapa banyak orang menjatuhkanmu. Tuhan akan membuatmu bahagia dengan cara-Nya sendiri.

Someday I'll be living in a big ol' city
And all you're ever going to be is mean
Someday I'll be big enough so you can't hit me
And all you're ever going to be is mean
Why you gotta be so mean?

Taylor Swift - Mean

Kamis, 07 Maret 2013

Lensa dan Fokus

Seperti lensa yang mengumpulkan cahaya
Seperti fokus yang mengatur ketajamannya
Lensa tanpa fokus takkan hidup
Fokus tanpa lensa akan mati
Saling melengkapi, menghidupkan
Seperti cinta dan hati
Cinta tanpa hati takkan hidup
Hati tanpa cinta akan mati
Tentang fotografi...
Bagaimana bisa hanya dengan pengetahuan?
Bagaimana bisa bila tanpa hati?
Fokus adalah bagaimana kita memilih
Bagian mana yang akan dijadikan utama
Dengan mengkaburkan suatu bagian
Untuk memperjelas bagian lainnya
Demi menjadikan suatu keindahan
Yang berirama, penuh makna
Fotografi serupa cinta dan kehidupan
Di sini bukan hanya keindahan
Namun tentang pilihan hidup dan mati...


(Ini puisi saya dedikasikan untuk dosen fotografi saya, yang memberi semangat tersendiri untuk saya di hari pertama kuliahnya. Saya diminta menulis puisi untuk beliau, dengan bercanda. Dan saya mengabulkan permintaan itu, dengan serius. Mohon maaf atas kekeliruan apapun yang ada di sini.)

Bayangan Penyesalan

Bahkan sebelum aku memutuskan untuk... mencintaimu. Aku telah mengerti bagaimana kehidupanku setelah ini. Dan mengambil keputusan untuk menutupnya, juga telah kumengerti bagaimana jadinya aku nanti. Ya. Aku tau dengan semua konsekuensi yang telah aku ambil. Aku mengerti, bagaimana penyesalan-penyesalan itu menjeratku nanti. Aku tau. Aku tau. Rasa sakitnya tentu lebih kejam dibanding mencintaimu. Tentu saja, jauh lebih sakit.

Bahkan kalaupun nanti kita tidak bisa bersama (sungguh ini bukan keinginanku), mungkin aku adalah orang pertama yang menyesal. Yang kedua teman-teman baikku, dan kamu adalah orang yang kesekian yang menyesal. Tidak, aku tidak apa-apa. Bukankah sudah kukatakan aku telah mengetahui semua konsekuensinya? Itu artinya, aku sudah siap dengan kesakitan yang paling sakit, nanti. Yaaa, walaupun aku belum tau sanggup atau tidak, namun setidaknya aku sudah siap.

Apakah aku terdengar seperti berdoa atas hal buruk pada hidupku sendiri? Bukan, bukan begitu. Aku hanya mempersiapkan diriku sendiri. Karena aku selalu siap merajut bahagia denganmu, maka aku juga harus siap menyaksikan pergimu. Itu saja.

Rabu, 06 Maret 2013

Ada Aku

Jika kamu sedang buruk, ada mataku yang tak mungkin enggan memandangmu
Jika kamu ingin berbagi cerita, ada telingaku yang selalu bahagia mendengar, apapun
Jika kamu memerlukan sebuah kata, ada mulutku yang selalu siap mendamaikanmu
Jika kamu bersedih, ada bibirku yang mengurai tawamu
Jika kamu membutuhkan dukungan, ada tanganku sebagai perantara mimpimu
Jika kamu membutuhkan teman, ada kakiku yang akan menemanimu kemanapun
Jika kamu menangis, ada bahuku yang selalu kuat membantu menyangga bebanmu
Jika kamu merasa sendiri, ada hatiku yang akan memelukmu, kapanpun...

Minggu, 03 Maret 2013

Apa Kamu Juga?

Kalau aku lagi sedih, aku bisa tiba-tiba seneng kalau inget kamu. Apa kamu juga?

Kalau aku lagi kumpul sama temenku, aku suka nyeritain kamu ke mereka. Apa kamu juga?

Kalau kita lagi ngobrol, aku suka mencari-cari topik asal percakapan kita bisa lebih panjang. Apa kamu juga?

Kalau lagi nggak ada kamu, kepalaku suka nengok kanan kiri depan belakang buat nyariin kamu. Apa kamu juga?

Kalau aku lagi males ngerjain atau mengikuti sesuatu, aku bisa semangat kalo di sana ada kamu. Apa kamu juga?

Kalau aku lagi ada perlu sama kamu, aku suka malu-malu sama salah tingkah gitu waktu mau ngomong sama kamu. Apa kamu juga?

Kalau kita lagi ketemu tapi kamu nggak nyapa, aku sedih banget. Apa kamu juga?

Kalau aku diem, bukan berarti aku nggak peduli atau pengen ngejauhin kamu. Tapi karena aku lagi ngatur degup jantung aku yang selalu memuncak tiap ada kamu. Apa kamu juga?

Dan yang terakhir...
Kalau aku bilang aku suka sama kamu. Apa kamu juga?


Jumat, 01 Maret 2013

Seharusnya Kamu

Seharusnya kamu yang khawatir waktu aku tidur terlalu malam.
Seharusnya kamu yang rajin bertanya, "Kenapa belum tidur?".
Seharusnya kamu yang tidak bisa tidur jika aku belum tidur.
Seharusnya kamu yang memberiku lagu-lagu pengantar tidurku.
Seharusnya kamu yang membuatku tenang sebelum aku terlelap.
Seharusnya kamu yang mengucapkan selamat tidur.
Seharusnya kamu yang mengharapkanku untuk tidur nyenyak.
Seharusnya kamu yang mengharapkanku untuk mimpi indah.
Seharusnya kamu yang mengirim pesan "Selamat pagi" esok hari.
Iya, seharusnya kamu. Bukan dia.
Mengapa aku terdengar seperti tidak bersyukur?
Padahal aku hanya ingin merasakan jika kamu yang melakukanya.
Pasti berbeda, dan lebih terasa mendamaikan.


Surabaya, 02 Maret 2013. 00:34
Kamu mengerti aku belum tidur. Kamu tidak menyapaku, tidak terlihat mengkhawatirkanku. Dan membiarkan orang lain lagi yang melakukannya. Kacau.

Caraku Merindukanmu

Aku merindukanmu lagi. Dan seperti rindu-rindu sebelumnya, tak ada satupun yang sanggup kubawa ke tempatmu. Kau mengendalikan fikiranku lagi. Dan aku adalah orang yang terkadang bahagia menikmatinya, meski sering kali tersiksa.
Rindu itu sederhana, aku tau. Dan cara menyampaikan rindu tidak sederhana, aku juga tau. Aku memilih menjadi seorang pengecut yang berani merindukan, tanpa berani mengatakannya. Karena dalam fikiranku, "Aku tidak mungkin merindukan orang yang bahkan belum pernah menjadi siapa-siapaku." Dan aku lebih memilih mengemas rinduku dengan caraku sendiri.
Sekarang coba kau baca bagaimana caraku merindukanmu, dan bagaimana rasa sakitku saat merindukanmu.

Saat merindukanmu, aku lebih memilih menulis namamu di kertas, lalu aku pandangi namamu lekat-lekat. Itu tidak menyembuhkan rinduku, memang. Tapi aku merasa lebih baik.

Saat aku merindukanmu, aku lekas mengambil ponselku, mengetik "Aku merindukanmu" lalu aku mencari namamu di kontak. Setelah kutemukan namamu, aku menyimpannya di draft. Cukup hatiku dan Tuhan saja yang tau.

Saat aku merindukanmu, aku keluar rumah. Menghirup nafas dalam-dalam, sambil memandang langit, dan mengatakan, "Aku tau seharusnya aku tidak seperti ini. Namun jika rindu terlanjur meringsek, aku bisa apa?"

Saat aku merindukanmu, aku memilih memadukan huruf-huruf hingga membentuk namamu. Lalu aku mengejanya pelan-pelan. Itulah caraku untuk mencoba mengobati rinduku.

Saat aku merindukanmu, aku mendoakanmu. Menegaskan bahwa aku merindukanmu, berulang kali. Dan air mata yang menetes itu, tentu tidak sebanyak jumlah rinduku.

Saat aku merindukanmu, aku mengingat hal-hal yang pernah kita lakukan. Hal-hal yang tidak sengaja kita lakukan, dan tidak sengaja juga abadi di hatiku.

Ada banyak cara yang aku lakukan untuk membunuh rinduku. Namun kenyataannya, rindu-rindu yang kejam itu belum ingin musnah. Rasanya ingin aku memanggilmu untuk kusuruh memindahkan rindu ini. Namun aku gagal. Tak daya untuk mengusir rindu itu. Karena sama artinya aku mengusirmu dari kehidupanku
Kucoba untuk tidak merindukanmu, sekali lagi. Dan aku sungguh membenci kata mustahil.