Sabtu, 26 Oktober 2013

Roni dan Juang

Roni dan Juang. Mereka berdua temanku kuliah. Karakter mereka berbeda, tapi ada beberapa yang menurutku sama. Biasanya, mereka ini dianggap teman-teman yang lain, omongannya sering ngelantur. Iya sih, mereka ini pengacau suasana. Tapi ada bagian dari mereka yang aku suka. Tiap ngomong berdua sama mereka, aku selalu dapet semacam inspirasi, motivasi, dan semangat.

Pertama, Roni. Ada yang bilang wajahnya mirip Afgan. Di kelas sampe dipanggil Afgan sama temen-temen. Aku setuju. Karena aku pernah menangkap dia, berekspresi seperti Afgan biasanya. Pernah juga menangkap tingkah lakunya yang miriiip sama Afgan. Dan ya, aku lebih suka liat dia buka kaca mata. Menurutku lebih mirip.
Well, balik ke topik. Ini ada beberapa percakapanku sama Afgan. Eh, Roni maksudku.

Roni nanya, "Rav, 3 tahun lagi kamu jadi apa?"
Aku jawab, "Penulis. Penulis terkenal, yang punya banyak penggemar."
Roni senyum sambil bilang, "Wow.., keren ya. Kalo aku pengen jadi pengusaha."
Aku ikut senyum, "Aamiin..."
Roni nanya lagi, "Kapan hari aku liat kamu nge-retweet Merry Riana. Kamu ngefans sama dia?"
Aku jawab, "Enggak. Aku cuman selalu kagum sama penulis."
Roni heran, "Oh, berarti kamu melihat Merry Riana sebagai penulis ya. Kalo aku melihat dia sebagai pengusaha."
Aku jawab, "Ehiya, kamu difollback dia kan? Keren lho."
Roni, "Iya, soalnya twitku keren-keren."

Mungkin dari percakapanku sama Roni tadi, orang lain menganggapnya biasa. Tapi bagiku, bertukar keinginan dan cita-cita, dapat menumbuhkan semangat tersendiri.



Kedua, Juang. Nama panjangnya, "Juang Mahmud Hasbulloh". (sengaja aku tulis nama panjangnya di sini, biar dia dapat nemuin artikelku ini). Dia mengakui dirinya ganteng dan pinter. Aku iyakan saja, karena memang kenyataannya. Dia anti organisasi yang kaku, yang aku terlanjur terjebak di dalamnya. Dia setelah kuliah langsung pulang, ikut kegiatan di luar. Dia nyambi kerja. Jadi nggak heran kalo dia banyak duit.

Ini sebagian percakapan isengku sama dia.
Juang tanya, "Kamu pengen jadi penulis, tapi kenapa masuk kampus teknik?"
Aku jawab, "Di sini aku nyari ilmu yang lain. Lagian aku tahu, jadi penulis nggak bisa dijadiin pekerjaan tunggal."
Juang bilang, "Tapi kalo menurutku, mending kamu kuliah di bidang yang memang pengen kamu dalemin."
Aku nyangkal, "Iya, aku pengen dalemin di sini. Ini kan kampus pilihanku satu-satunya."
Kita diem, terus aku ambil bindernya dia. Sambil aku bolak-balik.
Juang tanya, "Kenapa? Tulisanku jelek, nggak bisa dibaca."
Aku jawab, "Aku suka cover bindermu. Bikin sendiri kan? Bagus."
"Iya, aku kan pinter." Kata dia. Sombongnya mulai keluar.
"Kadang aku iri sama kamu."
"Kenapa iri sama aku? Aku lho sombong."
"Nggak masalah. Yang penting ada yang disombongin. Sombong itu manusiawi."
"Tapi sebenernya aku nggak pinter kok. Aku cuman memanfaatkan apa yang aku punya."
Aku diem. Sambil tetep membolak-balik bindernya. Hari itu aku seneng, bisa ngomong ke Juang kalo aku iri sama dia. Jujur, dari dulu aku pengen ngomong gitu.

Mungkin untuk sebagian orang, obrolan ini tidak penting. Tapi cukup menyadarkan aku, betapa aku begitu kecil.

Beruntung kita bertemu.

Kamis, 24 Oktober 2013

Sepele

... maaf, tak sengaja kubuka halaman terlarang itu lagi.

Tak ada yang kumulai. Semua terjadi begitu saja, tanpa sadar. Ingin diam, namun rasa keinginan lebih selalu datang bersamaan dengan sifat manusiawiku. Buku terlanjur kubuka. Dan aku tersenyum tanpa dituntun. Kau, jangan memberi penawaran apapun lagi, ya. Aku kepayahan menutup bukunya.

... maaf, aku lari untuk menjadi penipu

Sedih-bahagia dapat ditentukan dengan siapa kita bersama seseorang. Seharusnya, bersama seseorang yang kita harapkan keberadaannya, dapat membuatku membaik. Namun saat itu, mungkin aku sedang kalut. Jadi aku tidak sedang ingin dilihat. Dan juga, bukan kehadiranku yang ditunggu. Jadi aku pergi saja. Sambil memasang mimik tak suka, padahal ingin. Sepatu merah di depan perpustakaan. Terima kasih telah menyambutku, hingga aku tak jadi masuk.

... maaf, aku ingin tuli sebentar

Kau tahu bagaimana rasanya mendengarmu bercerita tentang seseorang yang selain aku? Aku senang melihatmu tertawa, antusias. Tapi tidak untuk kali ini. Jangan bicara lagi. Aku sudah menutup telingaku, tapi mengapa tetap kedengaran.

... maaf, aku membesar-besarkan hal sepele

Tapi bukan itu masalahnya. Aku hanya kecewa sebab selalu merasa bahwa ini hanya ada di pihakku. Kau tidak pernah merasa terjadi apa-apa. Akupun menunjukkan seolah tak ada apa-apa. Tapi setelah aku keluar lingkaran - semua memanas - sendiri - masih.

Jumat, 18 Oktober 2013

[BUKAN] DEJAVU

"Mungkin sebagian orang belum mengerti bahwa kejadian sepele yang kita lakukan, dapat diingat oleh orang lain, seumur hidupnya. Baik dan buruk kejadian sepele itu, kita sendiri yang menciptakan. Jadi tinggal dipilih, mana yang mau diambil."

Siang hari, saat kuliah pertama baru selesai.
Di lantai 3, saat aku dan teman-temanku membenarkan sepatu. Lalu bercengkerama sambil menunggu kuliah selanjutnya.


Hari itu di jurusan kami (Multimedia Broadcasting dan Game Technology) akan mengadakan pertandingan antar kelas, di mana pada masing-masing kelas harus mengirimkan satu perwakilan yang akan bertanding melawan kelas lain. Kebetulan saat itu kami sedang memikirkan siapa yang akan mewakili pertandingan (entah DOTA atau PES -- saya lupa). Yang jelas, dalam pertandingan itu harus ada yang mewakili.

Spontan saja, salah satu temanku, yang tidak akan saya sebutkan namanya, mengangkat tangan. Temanku itu mengusulkan bahwa dia ingin bermain dalam pertandingan itu.

Dia berkata, "Kene, aku ae sing maen."  ("Mana, aku saja yang main")

Lalu teman yang lain melarang, "Wes, ojok koen. Arek iki ae seng maen. Engkok lek koen kalah yok opo?" (Sudah, jangan kamu. Anak ini saja yang main. Nanti kalo kamu kalah bagaimana?"

Aku yang mendengar percakapan itu, tiba-tiba sedih. Aku membayangkan bagaimana semangat dari temanku yang menggebu-gebu ingin ikut pertandingan, lalu satu orang yang melarang, dan yang lain lagi ikut melarang tanpa membela yang semangat bertandingnya menggebu-gebu.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku yang semula duduk di sekitar mereka, berinisiatif untuk berdiri, berpura-pura melihat pemandangan di bawah, padahal sebenarnya aku menangis. Air mataku menetes tanpa memandang situasi. Di sudut sana, aku berdiri sendiri, membayangkan kejadian sekitar

3 tahun silam...

Dulu. Dulu sekali. Aku pernah mengalami kejadian yang sama. Kejadian yang seumur hidup akan selalu aku bawa. Saat aku masih duduk di bangku SMK, di kelasku juga pernah membutuhkan perwakilan 3 orang untuk mewakili lomba jurnalis. Aku dan semangatku yang menggebu-gebu, mengajukan diri untuk mengikuti lomba itu. Tapi dipihak lain, beberapa orang tidak menyetujuiku, malah menunjuk orang lain untuk mengikuti lomba itu.

Tanganku yang semula berada di atas, aku turunkan pelan-pelan
Suaraku yang tadinya menggebu-gebu, mulai terdengar lirih
Lalu aku mengurung niatku untuk mengikuti lomba itu
Beruntung, air mataku tidak menetes saat itu juga

Di sini, aku tidak ingin mengungkit-ungkit kesedihan. Namun aku tak dapat mencegah bayangan-bayang itu bila hadir kembali.

Aku tidak pernah menyalahkan siapapun. Semua orang punya hak untuk memilih siapa yang dipercaya. Setiap orang juga punya hak untuk tidak memberi dukungannya pada seseorang. Namun bila tidak dipercaya sebelum melakukan apapun, itu sangat menyedihkan, kawan...

Aku juga tidak memikirkan mengapa seseorang membenciku. Aku juga tidak pernah berfikir mengapa seseorang membenci orang yang lain. Namun yang aku sesalkan, mengapakah orang yang membenci tidak memberi alasan atau penjelasan kepada orang yang dibencinya? Setidaknya, dengan menggengam penjelasan itu, ada kesempatan bagi seseorang untuk berubah, kawan...

Maaf. Aku minta maaf untuk tulisan-tulisanku yang sok tahu.
Tapi aku memang tahu benar. Aku tahu benar bahwa rasanya dibenci lalu dijauhi tanpa alasan itu, sakitnya bukan main.
Aku juga tahu, rasanya tidak dipercaya padahal belum diberi kesempatan itu, sakitnya lebih dari sekedar keris yang dihujam ke dalam mulut, lalu menembus kerongkongan, dan memecahkan jantung.

Biarkan aku saja yang merasakannya, dulu. Jangan sampai ada lagi. Sakit.