Kamis, 29 Mei 2014

Tidak Nyata

Kamu, Kamu, Kamu. Apa kabar? Sedang apa kamu sekarang? Sebelum menulis ini, aku makan ayam goreng yang dibeli ibuku kemarin. Lebih murah 3 ribu perkilonya, dan ibuku langsung memborongnya 4 kilo. Ckckck. Jadi bisa dipastikan aku dan keluargaku makan ayam beberapa hari ini. Karena aku sudah mengisi energiku, mungkin ini akan menjadi surat yang panjang. Bila sudah merasa seram di awal membaca, kamu bisa menutupnya sekarang.

Tidak? Baik. Terima kasih masih membaca.

Aku menulis surat ini berdasarkan dorongan dari kabar tadi siang yang mengatakan bahwa sekolah kita dulu akan mengadakan wisuda di salah satu hotel keren di Surabaya.
Kalo diingat-ingat, terakhir kita bertemu dan berfoto bersama saat wisuda kita dulu. Dan terakhir aku melihatmu saat kamu berada di area kampusku. Hehehehe. Keberadaanmu tidak jauh-jauh dan di situ-situ saja – sebenarnya.

Beberapa waktu lalu, aku melihat fotomu di akun sosial media. Kamu baru saja meng-upload foto dengan kaus tanpa lengan yang berwarna kuning. Iya, kulitmu putih (jauh lebih putih dari aku), kulitmu juga kelihatannya halus (belum pernah aku pegang sampai bagian lengan, jadi aku tidak bisa memastikan). Namun ada yang perlu kamu tahu tentang kamu dan kaus tanpa lenganmu. Iya. Itu lebih cocok digunakan sebagai dalaman. Kamu akan semakin terlihat lebih “bijaksana” bila menambahkan kemeja di luarnya. Merah atau biru dongker boleh juga. Yaaaa itupun kalau kamu tidak ingin melihatku bergidik.

Aku menyesal tidak merekam suaramu saat adzan di sekolah dulu. Mungkin aku akan lebih rajin sholat bila aku juga bisa mendengarnya 5 kali sehari di sini. Hehehe. Kapan-kapan, kamu rekam buat aku ya! Hehehe. Hanya bercanda.

Kalau kita bertemu, akan aku tunjukkan laki-laki yang berhasil membuatku jatuh cinta – tetapi tidak berhasil aku buat jatuh cinta. Akan aku tunjukkan hanya saat kita bertemu. Ingat. Hanya saat. Aku sedang menebak bahwa kamu akan berkata ‘Perempuan macam apa kamu? Bisa-bisanya, cintanya bertepuk sebelah tangan namun malah bercerita ke sana kemari?’ Aaaah.., sepertinya aku ingin sekali dicaci maki – olehmu.

Di tempatku kuliah sekarang, aku tidak tahu harus bercerita ke siapa. Aku juga tidak tahu siapa yang mampu menampung atau paling tidak menjadi saksi atas khayalan dan mimpi-mimpiku. Aku lebih sering menulis sekarang ini. Semakin sedikit yang bisa aku percaya. Apa karena aku semakin dewasa, maka daya saing juga ikut meningkat? Namun apa hubungannya? Seharusnya segalanya lebih mudah dijalani bila bersama-sama, bukan? Namun orang-orang di sini terlalu banyak yang ingin terlihat paling hebat.

Kalau kita bertemu atau kalau kita ingin bertemu atau kalau kita berniat untuk bertemu, kamu harus mempersiapkan telingamu dengan pasrah. Sebab bisa jadi kamu akan menemui mulut dan cerita-ceritaku yang egois.

Aku tidak tahu sebenarnya apa inti dari tulisan ini. Namun di suatu waktu, ada hal-hal yang tak mampu aku pungkiri. Salah satunya, saat aku sedang…. maaf.


Merindukanmu.

Kamis, 22 Mei 2014

Puisi yang Tidak Selesai

Kepada seseorang yang katanya tidak menginginkan aku berada di sampingnya
Mungkin besok pagi
Nyaliku seberani warna sepatumu
Kalau menanti sampai nanti adalah takdiku, semoga aku tidak mati menunggu pagi

Jadikanlah aku sederhana
Sesederhana bagaimana aku bisa menulis puisi lebih mudah setelah bertemu denganmu
Tapi aku takut
Aku takut nyaliku tidak akan pernah seberani warna sepatumu hingga pagi-pagi berikut

Aku menulis, bukan untuk melaporkan hal-hal menyedihkan
Atau membuatmu malu ditatap orang-orang
Aku menulis agar aku tahu betapa indahnya sedih bila diubah menjadi puisi
Kadang-kadang, perlu menjadi sedih sebelum tahu pasti tentang arti pergi

Di bait-bait terakhir
Aku seperti memiliki kewajiban untuk menyelesaikannya
Namun aku khawatir
Mengucapkan banyak doa yang salah