Kamu,
Kamu, Kamu. Apa kabar? Sedang apa kamu sekarang? Sebelum menulis ini, aku makan
ayam goreng yang dibeli ibuku kemarin. Lebih murah 3 ribu perkilonya, dan ibuku langsung memborongnya 4 kilo. Ckckck.
Jadi bisa dipastikan aku dan keluargaku makan ayam beberapa hari ini. Karena
aku sudah mengisi energiku, mungkin ini akan menjadi surat yang panjang. Bila
sudah merasa seram di awal membaca, kamu bisa menutupnya sekarang.
Tidak?
Baik. Terima kasih masih membaca.
Aku
menulis surat ini berdasarkan dorongan dari kabar tadi siang yang mengatakan
bahwa sekolah kita dulu akan mengadakan wisuda di salah satu hotel keren di
Surabaya.
Kalo
diingat-ingat, terakhir kita bertemu dan berfoto bersama saat wisuda kita dulu.
Dan terakhir aku melihatmu saat kamu berada di area kampusku. Hehehehe.
Keberadaanmu tidak jauh-jauh dan di situ-situ saja – sebenarnya.
Beberapa
waktu lalu, aku melihat fotomu di akun sosial media. Kamu baru saja meng-upload foto dengan kaus tanpa lengan
yang berwarna kuning. Iya, kulitmu putih (jauh lebih putih dari aku), kulitmu
juga kelihatannya halus (belum pernah aku pegang sampai bagian lengan, jadi aku
tidak bisa memastikan). Namun ada yang perlu kamu tahu tentang kamu dan kaus
tanpa lenganmu. Iya. Itu lebih cocok digunakan sebagai dalaman. Kamu akan
semakin terlihat lebih “bijaksana” bila menambahkan kemeja di luarnya. Merah
atau biru dongker boleh juga. Yaaaa itupun kalau kamu tidak ingin melihatku
bergidik.
Aku
menyesal tidak merekam suaramu saat adzan di sekolah dulu. Mungkin aku akan
lebih rajin sholat bila aku juga bisa mendengarnya 5 kali sehari di sini.
Hehehe. Kapan-kapan, kamu rekam buat aku ya! Hehehe. Hanya bercanda.
Kalau
kita bertemu, akan aku tunjukkan laki-laki yang berhasil membuatku jatuh cinta
– tetapi tidak berhasil aku buat jatuh cinta. Akan aku tunjukkan hanya saat
kita bertemu. Ingat. Hanya saat. Aku sedang menebak bahwa kamu akan berkata
‘Perempuan macam apa kamu? Bisa-bisanya, cintanya bertepuk sebelah tangan namun
malah bercerita ke sana kemari?’ Aaaah.., sepertinya aku ingin sekali dicaci
maki – olehmu.
Di
tempatku kuliah sekarang, aku tidak tahu harus bercerita ke siapa. Aku juga
tidak tahu siapa yang mampu menampung atau paling tidak menjadi saksi atas
khayalan dan mimpi-mimpiku. Aku lebih sering menulis sekarang ini. Semakin
sedikit yang bisa aku percaya. Apa karena aku semakin dewasa, maka daya saing
juga ikut meningkat? Namun apa hubungannya? Seharusnya segalanya lebih mudah
dijalani bila bersama-sama, bukan? Namun orang-orang di sini terlalu banyak
yang ingin terlihat paling hebat.
Kalau
kita bertemu atau kalau kita ingin bertemu atau kalau kita berniat untuk
bertemu, kamu harus mempersiapkan telingamu dengan pasrah. Sebab bisa jadi kamu
akan menemui mulut dan cerita-ceritaku yang egois.
Aku
tidak tahu sebenarnya apa inti dari tulisan ini. Namun di suatu waktu, ada
hal-hal yang tak mampu aku pungkiri. Salah satunya, saat aku sedang…. maaf.