Sabtu, 27 Desember 2014

Dialog : Terinspirasi...

Perempuan : Apakah salah bila terinspirasi? Atau menjadikan seseorang menjadi objek karya kita?
Laki-laki : Boleh saja. Tapi kadang-kadang, tidak adil untuk beberapa pihak
Perempuan : Tidak adil sebelah mana?
Laki-laki : Kamu mengumbar cerita orang lain.
Perempuan : Aku tidak menyebutkan nama
Laki-laki : Bisa jadi ada yang tersinggung, atau tidak terima
Perempuan : Aku berusaha membuat suatu hal yang meskipun tidak berguna, ia tidak sia-sia
Laki-laki : Iya, aku tahu
Perempuan : Secara tidak langsung, aku berusaha menjadi benar meski belum sempurna. Apa aku salah? Kalau aku salah, berarti Taylor Swift juga salah.
Laki-laki : Tidak salah. Tapi Taylor Swift dan kamu harus sangat kuat untuk banyak hal
Perempuan : Semoga
Laki-laki : Apa kamu juga mau nulis aku di blogmu?
Perempuan : Aku harap kamu terima

Menjaga Satu

Berawal dari aku yang terlalu ingin memenuhi keinginanku
Membuat sesuatu yang hanya terdiri dari aku dan kamu
Sederhana, dan tak akan mati
Untuk satu hal, aku tidak ingin siapapun menggantikanmu

...

Kamu banyak berubah
Bahkan dari caramu menyapa
Mungkin menurutmu aku juga berubah
Bahkan dari caraku membalas sapaanmu

Banyak hal yang aku pikirkan sebelum membalas pesanmu
Aku tidak ingin terlihat terburu-buru
Atau terlalu mengulur waktu
Semua kuatur sedemikian rupa agar tak terlihat berpura-pura

Dari setiap perkataanmu yang membuatku bahagia
Selalu aku usahakan agar degup jantungku tetap sopan
Aku khawatir napasku terbaca dari pesan yang aku tulis
Kamu hebat melebihi perkiraanku, aku tahu

...

Sampai dia jadi, aku berjanji akan menjaganya
Namun satu hal, berjanjilah untuk terus menjaga yang sudah aku beri
"Kita akan bahagia bila bersungguh-sungguh,"
katamu




Sabtu, 29 November 2014

Sebab Aku Menulis

Aku menulis sebab...

Saat aku menggambar ice cream, dosenku mengira itu obor.
Saat aku menghibur anak tetanggaku dengan menggambar strawberry, dia menyebutnya nanas.

Ketika seseorang memintaku menggambarmu, aku takut tidak seperti kamu.
Jadi saat itu aku putuskan menggambar bentuk hati untuk menjelaskan bahwa kamu adalah hati. Atau kalau gambar hatiku masih belum juga bagus, beri aku kesempatan terakhir untuk menulis "I Love You".

Hanya itu yang bisa aku lakukan.
Maksudku, jangan melarangku menulis tentangmu saat aku masih masih dan masih mencintaimu.


Dingin

Pacet, 15 November 2014

Jumat, 07 November 2014

Bahu yang Lama Tidak Dijamah

Bila memelukmu masih terlalu jauh. Bisakah kamu hanya menyapaku malam ini? Malam ini saja. Hanya menyapa. Aku berjanji tidak akan meminta lebih.

Di hari sebelum hari ini, kamu yang lebih dulu meminta untuk bertemu. Namun tetap saja, aku selalu menjadi yang paling terakhir menahanmu pergi. Iya. Sejak sering berpisah denganmu, aku menjelma menjadi perempuan yang tak pernah kenyang dengan pertemuan. Rasanya, seperti rindu dan takut kehilangan dijadikan satu.

Dua orang yang saling melarang namun sama-sama tidak bisa memuaskan. Dua orang yang takut ditinggal dan meninggalkan namun sama-sama tidak bisa bertahan. Dua orang yang sama-sama berpikir, "Haruskah aku tinggalkan, namun bagaimana bila dia mencariku, menungguku?" Dua orang yang berusaha sebisa mungkin mencegah perpisahan tanpa harus ada yang terluka, namun tidak sadar bahwa keduanya sedang terluka.

Semacam dua pasang bahu yang sudah lama tidak dijamah. Atau dua pasang lengan yang terlalu pendek untuk memeluk diri sendiri. Aku terlalu dalam mencintaimu sampai-sampai tidak bijaksana terhadap diri sendiri. Bila tidak ada kamu di sini, aku pelit untuk tersenyum kepada yang selain kamu.

Tawamu terlalu berharga untuk dikandaskan,
hai-mu selalu memintaku untuk menunggu.

Aku mau.

Rabu, 29 Oktober 2014

Kata-kata yang Lelah

Aku berjanji tulisan ini tidak akan panjang
Sejujurnya, maksudku hanya ingin memberi tahu
Bahwa aku terlalu bertele-tele
Tapi memaksamu agar cepat mengerti

Kamu selalu ingin membaca tulisanku
Di sisi lain, aku ingin kamu membacaku tanpa aku menulis
Seluruh kita hanya terpaku oleh senyum yang tak teratur
Kadang lebat, seringnya jarang

Dari kata-kata lelah yang tersisa
Bolehkah sedikit meminta?
Bila hari ini aku mengajakmu bicara panjang
Besok jangan menatapku dengan cara yang berbeda

Kata-kataku lelah
Tapi tidak bisa kusembunyikan
Sering senyummu bagai selamat pagi yang membuka mataku
Tapi lebih sering, acuhmu bagai siksaan yang membuatku ingin cepat-cepat tidur

Rabu, 08 Oktober 2014

Seingatku

Seingatku, dulu aku mencintaimu karena memang aku mencintaimu. Bukan karena takut kesepian.
Seingatku, dulu aku mencintaimu karena memang aku mencintaimu. Bukan karena ingin dijemput setiap pagi.
Seingatku, dulu aku mencintaimu karena memang aku mencintaimu. Bukan karena ingin dibantu ini itu.

Seingatku, dulu tidak ada kata "dulu" sebelum aku mencintaimu.

Seingatku, aku tidak ingat apa-apa...

Senin, 08 September 2014

Sebelum Kamu Menjauh

Kecuali dialog yang aku buat-buat
Saat ini kita hampir tidak berbicara sama sekali
Meski aku terus di sana menjadi sebab
Di antara tawa yang hanya kamu sembunyikan

Sering kali dalam perjalanan pulang aku memilah
Mana kejadian, mana harapan
Namun perjalanan tidur yang mengingatkanku
Bahwa keberanian yang memenangkan segalanya

Aku sudah takluk bahkan sejak pertama terlibat pembicaraan
Lebih-lebih atas banyak kesempatan yang tidak pernah direncanakan
Aku bahagia, terlalu bahagia
Kemudian mulai tidak waras atas hal-hal baru dan debaran ajaib

Seharusnya aku cepat bangkit dan sadar sebelum semuanya menjadi terlanjur
Namun yang aku tahu hanyalah aku memikirkanmu di setiap kondisi
Mungkin aku bahagia menghabiskan waktu denganmu yang menggemaskan
Terlalu mudah terlena tanpa tahu apa-apa

Aku bisu pada waktu yang tidak tepat
Sebaris hukuman bagi yang menyia-nyiakan kesempatan
Kini perbincangan menjadi tabu
Dan kamu menjauh tanpa tahu betapa indahnya mencintaiku

Dari Ravita

Perempuan yang ketahuan jatuh cinta diam-diam

Rabu, 27 Agustus 2014

Arti Kata

Katakan apa inginmu tanpa menyebut banyak makna tersirat
Aku buta huruf bila kata-kata kamu tulis di pikiranmu
Aku pandai menebak
Tapi aku tak memiliki ilmu khusus agar tebakanku tepat sasaran

Apa arti ini, apa arti itu
Bahkan kata ‘terserah’ yang sering kamu ucapkan tak kumengerti juga maknanya
Apa arti ini, apa arti itu
Kata ‘pergi’ dan ‘pulang’ yang selalu kamu ucapkan juga selalu tertukar maknanya

Mungkin aku hebat dalam menunggu
Namun aku tak menjamin tetap di tempat saat kamu lama tak menjemputku
Aku mudah sakit bila kena hujan atau panas
Jadi setidaknya beri aku payung bila kamu tak bersamaku

Di bagian ini aku menangis
Mengasihani diri sendiri yang tak bisa menyelesaikan masalah dengan tuntas
Andai  satu masalah bisa diselesaikan dengan satu puisi
Akan kubuatkan seribu puisi untuk menyelesaikan masalah di kehidupan mendatang

Di Kehidupan yang Lain

Tetaplah dipihakku bahkan saat tak seorang pun melakukannya
Tetaplah berjalan ke arahku bahkan saat kakiku sama sekali tak bergerak
Karena di kehidupan yang lain, aku menyambut senyummu tanpa sedikitpun rasa duka

Aku ingin menjadi orang yang selalu menahanmu tinggal meskipun dalam bahaya
Aku ingin selalu menjadi orang yang berani berkata baik-baik saja bahkan saat sedang didera
Karena di kehidupan yang lain, kita sedang berdiri tegar di atas usia yang tak menua

Menguatlah saat hasrat rindumu tak dijamu dengan ramah
Menguatlah bila inginmu memeluk disambut dengan takut
Karena di kehidupan yang lain, kita berjalan bersama tanpa berjuang dan berdoa agar bersatu

Tetaplah menunggu
Tetaplah menunggu lagi
Karena di kehidupan yang lain, asing bagi kita melakukannya

Senin, 25 Agustus 2014

Hubungan Sangat jarak Jauh

Bukankah pada akhirnya
Dua orang yang berhubungan jarak jauh
Hanya bisa melarang tanpa memuaskan
Hanya bisa membuat rindu tanpa menyembuhkan

Mengapa baru diungkit sekarang
Sedangkan jalannya cerita telah diputuskan
Katanya pertengkaran bisa berkurang
Dengan tetap saling mencintai tanpa ada hubungan

Karena bisa sedekat ini
Akan menyenangkan bila bertemu tanpa perpisahan
Tidak akan menyedihkan bila tidak bertemu dalam waktu lama
Pelanggaran dan larangan tidak berlaku untuk yang tidak berhak

Biarkan kita berada pada tempat yang jauh tanpa memiliki ikatan
Dengan begitu kita tidak memiliki alasan untuk merindu
Biarkan kita berada pada tempat yang jauh tanpa memiliki ikatan
Dengan begitu tidak boleh ada yang patah hati bila salah satunya mencintai yang lain

Senin, 18 Agustus 2014

Bandara

Tak pernah sepi, namun bukan tempat rekreasi
Di sini banyak ditemui orang menangis
Menangis bahagia, juga menangis sedih
Di sini juga ada banyak hal yang dinamakan pertemuan dan perpisahan

Aku takut dengan hanya membayangkan tempat ini
Entah ke mana tujuannya
Dalam pikiranku hanya ada kata jauh
Sesuatu yang meninggi, kemudian menghilang tak terjangkau mata

Aku tidak ingin memelukmu bila untuk melepasmu
Aku tidak ingin berangkat denganmu ke tempat ini
Bila akhirnya aku pulang ke rumah sendirian
Pergilah saja tanpa aku tahu

Sebab Jauh

Sebab jauh memberitahu kita betapa indahnya rasa rindu
Sebab jauh mengajarkan kita cara menghargai dekat
Sebab jauh membuat pelukan terasa semakin hangat
Sebab jauh menyadarkan kita tentang banyaknya kebaikan yang sempat disiakan
Sebab jauh mengingatkan kita untuk berdoa dan memastikan seseorang tetap aman
Sebab jauh menyelamatkan pertemuan yang sempat dihindari
Sebab jauh meyakinkan hati tentang siapa yang sebenarnya paling ingin ditemui
Sebab jauh menjadikan dulu semakin indah untuk dikenang
Sebab jauh menghadirkan berbagai moment kebahagiaan dalam pikiran
Sebab jauh menghindari alasan-alasan perpisahan
Apalagi yang kamu salahkan kepada jauh,                   
sedangkan dia melakukan banyak hal yang seharusnya bisa membuat bahagia?

Pelukan Pesan Teks

Aku egois
Tak mau mengobati rindu bila sebentar, ditinggal pergi
Aku serakah
Tak bisa sembuh rindunya bila hanya lewat perangkat selular

Bahagiaku tidak cukup bila hanya membayangkanmu bahagia
Aku takut salah menebak dan mengartikan
Suaramu yang tertawa, barangkali diikuti air mata yang deras
Aku membalasmu dengan tawa padahal bahu yang kamu butuhkan

Begitu banyak yang harus diyakinkan
Ucapan ‘baik-baik saja’ semakin terdengar tidak baik
Entah mengapa masih ada banyak hal yang tidak bisa dilakukan
Bahkan untuk dua orang yang sangat ingin bersatu

Jangan ada yang disalahkan
Memelukmu dengan cara ini {} juga butuh perjuangan
Walaupun kamu tidak tersentuh
Percayalah hatiku tetap berusaha

Kamis, 14 Agustus 2014

Tidak Cukup Dekat

Aku tidak mengharapkan sesuatu darimu yang sudah diberikan orang-orang terbaikku. Tapi setidaknya, dari ucapanmu aku ingin mengerti bahwa kita masih bisa berteman.

Kemarin, selain merasa sangat bahagia karena mendapat banyak kejutan, aku juga merasa bersalah. Gara-gara aku pernah mencintaimu, kita jadi tidak bisa cukup dekat – bahkan hanya untuk mengucapkan “selamat ulang tahun”.

Aku tidak menyalahkanmu. Aku yang melakukan kesalahan.

Rabu, 13 Agustus 2014

Be HAPPY!

be HAPPY!
Saat masih kecil, aku memiliki keinginan untuk melindungi orang lain, namun tidak bisa melakukannya. Atau terkadang, sama sekali tidak menyadari bahwa seseorang butuh dilindungi. Namun ketika sudah besar, ketika aku memiliki kesempatan dan kemampuan untuk melindungi orang lain, aku terlalu banyak berpikir sebelum benar-benar memberikan perlindungan.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan saat sudah besar. Dan pilihan YA atau TIDAK selalu berebut untuk dipilih.

“Mendewasa dengan bijaksana.”
Apakah itu berarti tetap bahagia meski banyak yang menentang?
Atau menjaga perasaan orang lain meski terluka bisa disebut dewasa?
Apakah bekerja pagi sampai malam untuk suatu pihak tanpa peduli kesehatan juga bisa disebut dewasa?

Terus terang, aku canggung menemui diriku yang usianya berubah menjadi kepala dua hanya dengan tidur semalam. Seperti banyak yang bertanya, “Apa yang sudah kamu lakukan?” “Akan melakukan apalagi setelah ini?” “Sudah membahagiakan berapa orang?”. Kalau benar-benar ada yang bertanya, aku pasti gelagapan dengan penuh rasa bersalah.

Nyatanya, tumbuh besar dan harus dewasa, tidak semenggemaskan yang aku pikirkan saat masih kecil. Tapi apapun itu, bolehkan aku bahagia dengan apa yang aku lakukan? Dulu aku sempat bercita-cita untuk membahagiakan seluruh orang di dunia ini. Tapi aku sadar itu tidak mungkin. Karena aku akan tetap salah di salah satu mata bahkan saat aku berbuat baik.

Menjadi pemberani agar bisa melindungi orang lain.
Menulis tanpa mengusik kehidupan siapapun.
Menyayangi orang lain meskipun tak satupun yang memanggilnya sayang.
Tidak jadi pendendam meskipun mudah melakukannya.
Maafkan kesalahan orang lain meski seseorang tidak mudah meminta maaf.
Membantu orang lain meski pernah tidak terbantu.
Memberi kesempatan orang lain meski pernah mengemis agar diberi kesempatan.
Berbahagia.
Mendekati orang yang menjauh dan tidak punya teman karena orang seperti itu butuh lebih banyak pelukan.
Membantu orang yang dinilai jahat karena dia butuh lebih banyak kasih sayang.
Jangan memaksakan diri untuk membahagiakan semua orang. Nanti malah tidak bahagia.
Hidup dengan penuh kasih sayang.
Jangan lupa tersenyum!

Iya. Sebenarnya masih banyak lagi yang harus dilakukan. Tapi untuk saat ini, aku akan mendahulukan kebahagiaan. Aku akan belajar sambil berjalan.

Meski mudah marah, tapi aku tidak pernah sampai hati untuk membenci.
Selamat berusia dua puluh.
Bahagialah dengan mudah.

Sabtu, 09 Agustus 2014

Putar Balik, Perempatan Belok Kanan

"Kita nggak nyasar, kan?”
“Kalaupun iya, anggap saja kita lagi jalan-jalan.”
Kalimat bodoh darimu manakah yang tidak membuatku tenang?
“Kalau tiba-tiba kita nyasar sampai Jepang, gimana?”
“Nanti aku ambilkan bunga sakura.”
Kalimat bodoh dariku manakah yang tidak kau bahagiakan?

Bodoh.

Laju motor diiringi bunyi dari mesin yang terlambat diservis. Begitupun punggungmu yang terus mengundang kehangatan karena terlambat aku peluk.

Aku memutuskan turun sebentar untuk menyelesaikan kebodohan ini. Setidaknya menghentikan motor ini melakukan pelanggaran lalu lintas lebih banyak lagi.

Kali ini hanya tatapanmu yang menemaniku berjalan. Telingamu berusaha mendengar dari jarak 5 meter. Kamu hampir turun padahal aku sudah cukup. Aku berjalan kembali tetap ditemani tatapanmu yang kali ini mengisyaratkan aku untuk lebih cepat.

Berlebihan.

“Kata Bapak tadi kita harus putar balik dulu, terus perempatan belok kanan. Setelah ada pertokoan, lampu lintas,…”
“Ya sudah kalau gitu kapan-kapan saja ya, aku ambilkan bunga sakura.”

Hangat.

Kota Surabaya
Pertengahan tahun

Selasa, 29 Juli 2014

3 Kali Dalam Setahun

Sejak hari itu, kita hanya berbicara melalui pesan teks sebanyak 3 kali dalam setahun. Saat ulang tahunmu, ulang tahunku, dan lebaran. Setiap hariku dalam setahun, selalu menunggu ketiga hari itu. Setidaknya, memastikan kamu masih hidup merupakan suatu kelegaan yang tak bisa dijelaskan.

Di hari-hari yang lain, aku atau mungkin kamu, tidak memiliki alasan untuk saling mengirim pesan teks. Saling menanyakan kabar, juga terasa janggal bila dilakukan oleh dua orang yang memiliki hubungan seperti ini. 

Dulu, rasanya begitu mudah bagi kita untuk saling mengejek, mengatai, atau mengucapkan sumpah serapah. Namun sekarang, rasanya begitu kaku. Banyak sekali perkataan yang harus aku jaga. Mengirim pesan teks untukmu pun harus aku edit berkali-kali - bahkan aku persiapkan seminggu sebelumnya karena takut salah.

Tahun ini, aku ingin sedikit menyalahkanmu.
Sebab hari ulang tahunmu yang tepat pada hari pertama lebaran, membuat kita harus melakukan ritual mengirim pesan teks, hanya 2 kali dalam setahun.

"Selamat ulang tahun. Mohon maaf lahir dan batin."

Selasa, 15 Juli 2014

:')

Mengendap ingin terlihat
Kalau memang bukan aku, tentu kamu tidak akan menikah dengan orang yang salah
Mendekat tak tertangkap
Kalau memang tidak denganmu, tentu aku tidak akan menjalani pernikahan terpaksa

Berlari sekuat yang aku ingin
Tidak menjamin aku mendapatkanmu dengan cepat
Duduk tanpa mencari perhatian
Pun belum tentu membuatku tidak ditemukan

Di sebuah ruangan nanti
Saat tanganku lebih dingin dari tangan mahasiswa yang melakukan sidang tugas akhir
Di sebuah ruangan nanti
Saat kamu merasa kakimu berjalan tidak sampai-sampai

Hari di saat aku berkhayal lebih sedikit
Hari-hari di saat aku berdoa siang-siang segera menjadi malam
Selain peristiwa
Menulis mimpi kadang-kadang lebih melegakan



Surabaya, 15 Juli 2014
10:37 pm


Ravita
Perempuan yang berdoa tidak terlambat

Minggu, 06 Juli 2014

Kesalahan? Bukan. Pelajaran.

Sebab bertemu denganmu setiap hari, membuatku harus berjuang mencintaimu dengan diam-diam.

Aku bisa saja melakukan hal bodoh sewaktu-waktu.

Berdiri di sampingmu, membuatku harus berjuang agar tidak memelukmu tiba-tiba.
Bicara denganmu, membuatku takut bila tidak sengaja mengucapkan "aku mencintaimu".
Presentasi di depan kelas, membuatku ingin menyanyikan lagu yang aku ciptakan untukmu.
Menatapmu dari belakang, membuatku ingin sekali menggantikan benda mati yang sedang kamu pegang.

Belakangan ini aku membenci waktu tidurku. Atau saat tengah malam terbangun dengan kondisi bibir yang masih memanggil namamu. Aku pelupa. Tapi aku begitu tidak mudahnya membuang banyak kenangan.

Seharusnya dulu... aku mencintaimu lebih berhati-hati dan bijaksana.
Bahkan di saat cintaku sedang muluk-muluknya, aku masih terlalu takut untuk sekadar membelikanmu sarapan.
Atau di saat belum ada yang lebih angkuh dariku cintaku, seharusnya aku tidak gugup untuk membangunkanmu pagi-pagi lewat telepon.

Bukan tidak bisa memperhatikanmu, tapi aku terlalu kaku untuk berterus terang tentang perasaanku.
Maaf bila aku hanya berani diam-diam menuliskanmu puisi.

Aku hanya lupa bahwa yang mencintai paling tulus akan kalah oleh yang berani.

Sudah. Itu saja dulu.
Jangan biarkan aku sesak napas karena tidak ikhlas.

Sabtu, 21 Juni 2014

Telepon

Benda mati ini mengatakan bahwa kamu sedang berada di kota yang paling tepat untuk menulis puisi
Sedangkan aku berada di kota yang selalu macet dan tidak ramah untuk dibuat jalan kaki
Suaramu lebih bagus didengarkan dari sini
Atau mungkin aku sedang mengantuk

Aku percaya kamu sedang berada di kamar kosmu
Aku juga yakin tidak salah mendengar ada suara seorang perempuan di sana
Katamu, itu suara dari video salah satu girlband favoritmu
Tapi sejak kapan anak-anak kecil itu mengajakmu bicara bukan bernyanyi saja?

Lagi-lagi kita harus sepakat melupakan hal ini lalu percaya katamu
Aku iyakan saja
Ini bukan masalah besar
Pun kalau itu seorang perempuan, aku tetap teman teleponmu sekarang

"Di sini sudah sering turun hujan," kataku
"Kalau begitu, jangan lagi malas memakai jas hujan," katamu
"Kalau hujannya hanya di tempat tidurku, apa yang bisa aku pakai agar tidak basah?"
"Sebentar lagi aku pulang. Paling lama 2 minggu lagi," janjimu

"Kamu bisa mencintaiku lagi?" pertanyaanmu seperti kalimat perintah
"Aku baru saja berkabung dari patah hatiku. Jangan meminta yang macam-macam dulu."
"Kamu terlalu hebat untuk laki-laki yang sekarang sedang aku buka akun facebooknya," katamu
"Tapi hebatku yang kamu lihat hari ini, ada pengaruh hebat dari laki-laki itu."

Kamu memintaku untuk menulis puisi berjudul "Kangen"
Namun judul itu terlalu murah untuk cerita rumit ini
Sekarang puisi pesananmu sudah jadi
Jangan lupa salam untuk siapapun yang menemanimu malam itu

Rabu, 18 Juni 2014

Logika Termudah

Kata banyak orang, "Tuhan tidak memberi apa yang kita inginkan, melainkan yang kita butuhkan."
Jadi sebesar apapun aku menginginkan sesuatu dan atau seseorang - bila Tuhan tidak memberikannya kepadaku - berarti aku tidak membutuhkannya.

Jadi. Apabila aku tidak bisa bersama dengan seseorang yang (menurutku) terbaik, berarti Tuhan berkata aku tidak membutuhkannya dan dia tidak membutuhkanku.

Nanti dan pasti - setiap orang akan bersama seseorang yang masing-masing saling membutuhkan.

Meskipun agak berat berkata "Kamu sedang bersama orang yang kamu butuhkan sekarang", namun bagaimana lagi? Di depan mataku hanya ada kenyataan seperti itu.

Inilah logika termudah yang aku miliki sejauh ini. Walaupun tidak semudah menuliskannya di sini - namun aku hanya ingat satu hal, "Bila aku terlalu larut pada satu orang yang sebenarnya tidak aku butuhkan, ini tidak akan adil bagi pasanganku nanti."

Sedih?
Oh! Tentu. Tentu aku sedih dengan manusiawi.
Dan seseorang boleh bangga atas kesedihanku.
Tapi logika termudahku tetap berada pada kalimat pertama. Tak perlu kuberitahu, kamu juga pasti tahu. Bahwa aku bukan perempuan yang kuat dengan benar. Aku hanya perempuan yang berjuang untuk tetap berpikir positif kepada Tuhannya.

Memori memori memori.
"Memories are writers' great partner. Do not ask them to move on." -Aan Mansyur

Trust me. I'm (just) a WRITER!

Senin, 09 Juni 2014

Happy Nine June

Selamat Ulang Tahun


Selamat ulang tahun...
Semoga tahun ke-53 dan ke-22 mu selalu bermanfaat.
Selalu menjadi dua lelaki kebanggaanku.
Jangan lupa selalu jadi orang baik, tampan, dan luar biasa. Aku tidak tahu bagaimana bila kalian berdua tidak lahir sebelumku. Mungkin aku tidak tahu kepada siapa aku harus meniru.

Yah, tetep jadi orang keren, Yah. Jangan sakit! Aku sayang Ayah. Jadi Ayah yang gendut, ya. Biar makin kuat gendong aku. hehehehehehe. Kapan-kapan, kita harus nyanyi bareng terus diupload di youtube. Ayah kan jago banget main gitar. Aku kan jago banget nyanyi. Kita bakalan jadi pasangan duat yang keren.

Mas, jangan nakal. Kasihan Ibuk. Ohya, rajin-rajin ngajakin aku ke perpustakaan atau toko buku, ya. Biar aku makin kayak penulis sungguhan.

Kalian berdua. Membuatku bangga, semakin terpacu untuk meraih banyak-banyak mimpi.

Semoga Tuhan selalu membahagiakan kalian. Semoga semakin banyak lagi doa-doa kalian yang menjadi nyata. Aku janji akan aku bantu wujudkan.

Maaf, aku belum bisa memberi banyak.

Sekali lagi, selamat ulang tahun.
Semoga, semoga, semoga!

I LOVE YOU BOTH!
:*****

Kamis, 29 Mei 2014

Tidak Nyata

Kamu, Kamu, Kamu. Apa kabar? Sedang apa kamu sekarang? Sebelum menulis ini, aku makan ayam goreng yang dibeli ibuku kemarin. Lebih murah 3 ribu perkilonya, dan ibuku langsung memborongnya 4 kilo. Ckckck. Jadi bisa dipastikan aku dan keluargaku makan ayam beberapa hari ini. Karena aku sudah mengisi energiku, mungkin ini akan menjadi surat yang panjang. Bila sudah merasa seram di awal membaca, kamu bisa menutupnya sekarang.

Tidak? Baik. Terima kasih masih membaca.

Aku menulis surat ini berdasarkan dorongan dari kabar tadi siang yang mengatakan bahwa sekolah kita dulu akan mengadakan wisuda di salah satu hotel keren di Surabaya.
Kalo diingat-ingat, terakhir kita bertemu dan berfoto bersama saat wisuda kita dulu. Dan terakhir aku melihatmu saat kamu berada di area kampusku. Hehehehe. Keberadaanmu tidak jauh-jauh dan di situ-situ saja – sebenarnya.

Beberapa waktu lalu, aku melihat fotomu di akun sosial media. Kamu baru saja meng-upload foto dengan kaus tanpa lengan yang berwarna kuning. Iya, kulitmu putih (jauh lebih putih dari aku), kulitmu juga kelihatannya halus (belum pernah aku pegang sampai bagian lengan, jadi aku tidak bisa memastikan). Namun ada yang perlu kamu tahu tentang kamu dan kaus tanpa lenganmu. Iya. Itu lebih cocok digunakan sebagai dalaman. Kamu akan semakin terlihat lebih “bijaksana” bila menambahkan kemeja di luarnya. Merah atau biru dongker boleh juga. Yaaaa itupun kalau kamu tidak ingin melihatku bergidik.

Aku menyesal tidak merekam suaramu saat adzan di sekolah dulu. Mungkin aku akan lebih rajin sholat bila aku juga bisa mendengarnya 5 kali sehari di sini. Hehehe. Kapan-kapan, kamu rekam buat aku ya! Hehehe. Hanya bercanda.

Kalau kita bertemu, akan aku tunjukkan laki-laki yang berhasil membuatku jatuh cinta – tetapi tidak berhasil aku buat jatuh cinta. Akan aku tunjukkan hanya saat kita bertemu. Ingat. Hanya saat. Aku sedang menebak bahwa kamu akan berkata ‘Perempuan macam apa kamu? Bisa-bisanya, cintanya bertepuk sebelah tangan namun malah bercerita ke sana kemari?’ Aaaah.., sepertinya aku ingin sekali dicaci maki – olehmu.

Di tempatku kuliah sekarang, aku tidak tahu harus bercerita ke siapa. Aku juga tidak tahu siapa yang mampu menampung atau paling tidak menjadi saksi atas khayalan dan mimpi-mimpiku. Aku lebih sering menulis sekarang ini. Semakin sedikit yang bisa aku percaya. Apa karena aku semakin dewasa, maka daya saing juga ikut meningkat? Namun apa hubungannya? Seharusnya segalanya lebih mudah dijalani bila bersama-sama, bukan? Namun orang-orang di sini terlalu banyak yang ingin terlihat paling hebat.

Kalau kita bertemu atau kalau kita ingin bertemu atau kalau kita berniat untuk bertemu, kamu harus mempersiapkan telingamu dengan pasrah. Sebab bisa jadi kamu akan menemui mulut dan cerita-ceritaku yang egois.

Aku tidak tahu sebenarnya apa inti dari tulisan ini. Namun di suatu waktu, ada hal-hal yang tak mampu aku pungkiri. Salah satunya, saat aku sedang…. maaf.


Merindukanmu.

Kamis, 22 Mei 2014

Puisi yang Tidak Selesai

Kepada seseorang yang katanya tidak menginginkan aku berada di sampingnya
Mungkin besok pagi
Nyaliku seberani warna sepatumu
Kalau menanti sampai nanti adalah takdiku, semoga aku tidak mati menunggu pagi

Jadikanlah aku sederhana
Sesederhana bagaimana aku bisa menulis puisi lebih mudah setelah bertemu denganmu
Tapi aku takut
Aku takut nyaliku tidak akan pernah seberani warna sepatumu hingga pagi-pagi berikut

Aku menulis, bukan untuk melaporkan hal-hal menyedihkan
Atau membuatmu malu ditatap orang-orang
Aku menulis agar aku tahu betapa indahnya sedih bila diubah menjadi puisi
Kadang-kadang, perlu menjadi sedih sebelum tahu pasti tentang arti pergi

Di bait-bait terakhir
Aku seperti memiliki kewajiban untuk menyelesaikannya
Namun aku khawatir
Mengucapkan banyak doa yang salah


Senin, 21 April 2014

Ingatan Sebentar

Jangan mengatasnamakan ketulusan dalam hal ini. Selama ada hati yang menerawang dan tak tahu ke mana arah selanjutnya.

Motor melaju kearah selatan. Kali ini kamu tidak menerobos lampu merah sebab kita sudah sepakat untuk menghabiskan waktu berdua selama mungkin.

Aku menyesal ketika dulu tidak menurutimu yang mengajakku membolos sekolah. Sebab sekarang kita sudah tidak bisa begitu lagi. Mungkin akan menyenangkan bila kita memiliki kenangan pernah dihukum guru ketertiban.

Dulu kamu masih kecil.
Dulu aku terlihat baik-baik saja.

Aku dan kamu begini saja. Jadi aku tidak bisa banyak meminta dan menuntut kepadamu. Namun saat seseorang mulai mendesakmu, aku usahakan ada di sana untuk menahannya semampuku.

Aku berusaha menatapmu seperti anak kecil.
Aku berusaha berperilaku baik-baik saja.

Karet rambutku yang bewarna pink, tidak perlulah kamu simpan di dalam laci lagi. Masa depan yang dulu sempat kita bicarakan, anggap saja seperti cita-cita anak TK yang mayoritas ingin menjadi dokter bila ditanya.

Kadang-kadang, aku merindukan dialog yang aku tahu tidak penting namun tetap saja aku bicarakan. Aku mengingat dialog aneh di dapur. Pertanyaan darimu yang tidak bisa aku jawab, “Mengapa semua makanan harus diberi garam?”. Atau saat kamu mengataiku bodoh ketika di ruang tengah aku bertanya, “Mengapa orang yang masuk TV tidak kesetrum?”

Kita adalah dua orang yang sama-sama ingin tahu banyak hal. Sama-sama ingin didengarkan namun tetap memberi perhatian.

Dulu. Sebelum hal yang lebih baik membuatmu tertarik untuk pergi.

Ravita

Perempuan yang berat menerima kenyataan bahwa menjadi dewasa adalah hukum alam

Selasa, 15 April 2014

Sajak : Anggap Saja

Bila tidak mudah bagimu untuk mengartikan dan melakukan sesuatu pada serangkaian huruf yang terlanjur kamu baca, biarkan aku menyarankanmu untuk berpersepsi lebih sederhana.

Anggap saja aku menulis karena sedang tidak ingin lupa bagaimana cara menulis. Atau anggap saja, aku sedang ingin dipuji berkat tulisanku. Barangkali itu lebih mudah.

Perihal tulisanku yang menurutmu tentangmu, anggap saja aku terinspirasi. Anggap saja aku kehabisan ide, namun tetap ingin menulis.

Anggap saja aku tidak mencintaimu. Karena memang tidak mungkin bagi seorang perempuan mencintai lelaki yang bahkan sudah jauh pergi sebelum sempat datang.

Anggap saja aku tidak sedang menunggumu. Karena tidak mungkin menunggu tanpa diberi janji apapun.

Aku hanya ingin menulis kemudian orang membacanya. Sebab aku tidak ingin hanya menyimpan puisiku, kemudian tervisual menjadi mimpi burukku. Sebab seberapapun indah puisi tertulis. Kesemuanya hanya menguap tak berarti bila hanya terlipat di bawah bantal.

Anggap saja aku menulis. Hanya menulis. Dengan perasaan datar, tanpa rasa sedih ataupun suka cita.

Rabu, 02 April 2014

Tempat Duduk Baris Dua

"Berapa banyak lagi perasaan yang kau hindari? Bertambah berapa lagi jumlah hati yang berusaha kau lindungi?"

"Aku hanya tak bisa berbuat semauku. Meski seharusnya aku sempurnakan bait sumbang pada puisiku."

Perempuan itu baru datang. Mengambil tempat duduk favoritnya; tempat duduk baris dua. Namun dia terkejut sebab ada laki-laki yang lebih dulu menempatinya. Masih tersisa 3 kursi di sebelah kanan laki-laki itu. Perempuan itu sempat bingung harus duduk di sebelah mana. Di samping persis laki-laki itu, atau memberi selisih satu bangku.

"Entah sejak kapan, berada di sampingmu - yang dulu sempat aku impikan, membuat tidak nyaman untuk sekarang ini."

Sekarang resmi ada bangku kosong di tempat duduk baris dua; di antara perempuan dan laki-laki itu.

"Bila jeda membuat kita lebih nyaman. Membuat paru-paru kita lebih leluasa menyerap oksigen. Membuat orang-orang tidak semakin sering berpersepsi. Biarlah aku yang merelakan diri untuk memberi jeda sendiri. Meski harus kosong dan terlihat mencurigakan."

Keganjilan ini akhirnya berakhir. Mungkin 1 jam, mungkin 2 jam. Perempuan itu tak lagi peduli. Sebab baginya, melihat laki-laki itu serius menulis, sudah sangat cukup untuk keadaan seperti ini.

Maaf, aku tak sekuat yang seharusnya
Maaf, aku tak setahan banting yang kau lihat
Aku lemah bila dicibir
Aku takut bila seseorang menjahatiku kemudian aku membalasnya

Sekarang aku menangis
Tidak menangis sebab tidak bisa duduk di sampingmu siang itu
Tidak menangis sebab tidak bisa menjadi orang pertama yang membaca tulisanmu
Tapi menangis sebab seharusnya kita bisa bersikap wajar di hadapan orang

Aku tidak bisa menghiburmu yang baru saja kehilangan sesuatu
Aku tidak bisa membantumu yang sedang menutupi sesuatu
Meski begitu, aku tetap ada walau tak harus terekam oleh matamu
Semoga cukup

Seperti malam sebelumnya, perempuan itu masih saja terjaga untuk memikirkan banyak hal.


Surabaya, 02 April 2014

Ravita
[Perempuan bermuka dua yang sudah yakin mencintaimu]

Sabtu, 29 Maret 2014

Harus Bagaimana

Diamlah di tempatmu dengan biasa-biasa saja
Tidurlah tanpa berdoa agar bermimpi indah
Sebab nanti bila aku bangun
Akan menghadapi harapan yang tanpa aku perjuangkan

Bila hanya pemberani yang memenangkan sebuah pertandingan
Sementara aku adalah perempuan yang rela sakit agar tidak menjadi durhaka
Cukupkah keberuntungan yang memenangkanku
Atau paling tidak ketegaranku saja yang menjadikannya cukup

Kau berhasil menggiringku pada permulaan tanpa pilihan
Sampai pada akhirnya aku menghadapi kemungkinan yang bersifat mau tidak mau
Kehadiran cemburu dan gusar sangat tidak memiliki iba
Meski berulang aku tersenyum pada penawaran-penawaran yang baru

Bila aku berteriak sakit berarti memang sakit
Bila aku tidak berteriak berarti aku sedang menahan sakit yang lebih
Kau tetap menjadi yang aku tulis hingga kurun waktu entah
Bahkan meskipun aku tahu bagaimana usahamu memperjuangkan perempuan itu

Seminar Bareng Indra Widjaya dan Brilliant Yotenega

Surabaya, 22 Maret 2014.
Aku mencoret catatan mimpiku lagi tahun ini. Isinya “Menjadi pembicara di workshop menulis”.

Walaupun aku tahu kalau aku belum menjadi pembicara utama, namun ini tetap saja harus digolongkan sebagai pembicara. Bukan begitu? Harus begitu dong. Hehehe.

Acara ini diadakan di kampusku. Pembicara utamanya ada Indra Widjaya (Penulis buku Idol Gagal dan Tulang Rusuk Susu) dan Brilliant Yotenega (founder nulisbuku.com). Aku sendiri diminta untuk sharing tentang buku “You are My ABCD” yang baru saja aku terbitkan. Senang, bangga, haru, gugup, semua ada di situ. Pertama kali mengisi seminar, dan sekalinya langsung bareng penulis keren yang menginspirasi, dan pastinya sudah punya banyak penggemar.

Acara dimulai jam 10 pagi. Peserta seminar sudah berkumpul di lokasi sejak satu jam sebelumnya. Di ruang tunggu ada Mas Indra yang sudah datang lebih dulu dari aku. Sebelum masuk ke ruang seminar, aku sama Mas Indra saling berkenalan. Orangnya santai, asyik, dan ramah. Dan yang paling aku suka, Mas Indra ini selalu memberi kesan akrab meskipun baru pertama kali kenal.

10 menit ngobrol, akhirnya Mas Indra dipanggil untuk mengisi seminar lebih dulu. Beberapa menit kemudian, Mas Ega datang bersama salah satu anggota nulisbuku dari Surabaya yang bernama Mbak Nina. Aku sudah mengenal Mbak Nina sebelumnya. Jadilah Mbak Nina yang mengenalkan aku dan Mas Ega saat itu.

“Mas, kenalin ini Ravita. Dia salah satu penulis di nulisbuku juga,” kata Mbak Nina.

“Ohya? Hai, saya Ega,” kata Mas Ega sambil mengajak bersalaman.

“Saya Ravita,” sambil menyodorkan tangan sewajarnya.

“Bukumu judulnya apa?” tanya Mas Ega.

“You are My ABCD,” jawabku malu-malu.

“Oooh.., yang covernya warna-warni itu ya?”

“Hehehe. Iya, Mas.”

Dalam hati, seneng. Ternyata bukuku diingat sama foundernya nulisbuku. Hehehe.

Untuk kesekian kalinya, aku merasa beruntung karena kami bertiga bisa nyambung selama ngobrol. Aku juga nggak sungkan buat bercanda atau ketawa ngaMas di hadapan mereka. Setidaknya, aku terselamatkan dengan keramahan mereka.

“Jadi, bukumu ini ceritanya tentang apa?” tanya Mas Ega.

“Tentang perempuan yang jatuh cinta, tapi nggak berani bilang, dan beraninya cuman nulis,” jawabku takut salah.

“Ooooohh. Laki-lakinya teman sejurusan ya?” tanya Mas Ega datar.

“Hhhhhaaa?” aku terperanga. “Ini cuman fiksi kok, Mas” aku mencoba membenarkan. Ini bukan penyangkalan.

“Iya, saya tahu. Dibuku ini, laki-laki itu ceritanya teman sejurusan apa bukan?” Mas Ega menjebakku.
“Enggak lah, Mas. Ada-ada ajah,” kata ku.

“oooooo.., bukannn yaa. Terus, nanti dia dateng nggak di seminarmu? Dateng dong, ya kan?” Mas Ega memancing.

“Aduh, Mas. Apaan sih?” aku mulai salah tingkah.

“Semua laki-laki itu sama ajah. Dia pasti tahu kalau kamu nulis buku buat dia. Ya kan?” Mas Ega terus menggoda.

“Mas Ega apaan sih?” aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

“Dia pasti suka bola. Kalau nggak Real Madrid, pasti MU? Iya kan? Semua cowok itu sama ajah.”

Kali ini aku diam saja. Sambil menatapi Mbak Nina yang memainkan HP-nya sambil ikut-ikutan tertawa melihat nasibku.

Yang jelas, apapun yang kami hasilkan dari dialog ini, aku tidak masalah. Aku hanya senang bisa langsung akrab dengan orang yang baru aku kenal. Tidak biasanya kau begini.

Dalam perbincangan sambil menunggu waktuku mengisi seminar, Mbak Nina dan Mas Ega sempat menanyakan saran-saran dari aku untuk nulisbuku. Dan seperti sudah tercatat jelas di kepalaku, aku lancar saja menyebutkan satu persatu. Harapanku, semoga saranku bisa bermanfaat untuk ke depannya.
Aku juga menunjukkan bukuku kepada Mas Ega. Dan aku senang saat Mas Ega memuji design dan layout bukuku. “Kayak buku sungguhan,” katanya. Aku berharap ini bukan sekedar basa-basi. Mas Ega juga memuji beberapa kutipan yang aku tulis, sambil terus berkata, “Bagus ini. Serius. Bagus banget. Dia pasti seneng kalau tahu ini.”

Seseorang yang pernah kuliah di DESPRO, ITS (bisa dibilang kiblat dari jurusanku sekarang), memuji design-ku – selaku perempuan gampang galau yang design-nya sering ditertawakan. Hehe.

Ohya, aku dikasih buku lho sama Mas Ega. Horeeee. Gratisaaaan.
In The Eye of The Storm
Mungkin satu jam berlalu, namaku dipanggil. Akhirnya aku lepas dari pertanyaan-pertanyaan dari Mas Ega.

Aku masuk ruangan, lalu duduk satu sofa dengan Mas Indra Widjaya. Menerima pertanyaan-pertanyaan, lalu menjawabnya dengan sangat berusaha santai.

Di sela kesempatan, aku sempat mengobrol dengan Mas Indra.

“Serius. Aku gugup banget,” kataku sambil nunjukin tanganku yang dinginnya sebeku es.

“Waaah.., santai ajah. Kalo jadi penulis harus siap jawab pertanyaan-pertanyaan,’ jawabnya selalu ramah.

“Ini pertama kalinya aku. Biasanya ngomong di depan orang sebanyak ini bukan tentang nulis tapi tentang film.”

“Sekarang harus mulai terbiasa. Pokoknya, kalau ada pertanyaan tentang teknis dan kamu susah menjawab, jawab setahumu aja. Atau belokin ke jawaban lain. Penulis harus pinter.”

Sadar tidak sadar, aku belajar banyak dari Mas Indra. Dia seperti melatihku menjadi penulis professional yang mau tidak mau harus pandai berbicara – tidak hanya menulis.

Bertemu dan mengisi seminar dengan dua orang keren, sangat di luar dugaan. Ucapan-ucapan mereka sangat aku rekam dengan baik. Berjaga-jaga bila aku membutuhkannya suatu hari. Mereka berhasil menggiringku untuk terus berusaha medekat kepada mimpi-mimpiku.

Sekarang giliran nama Mas Ega dipanggil untuk masuk ruangan.
Kami bertiga resmi berada di satu ruangan dan satu sofa lebih tepatnya. Di sampingku ada penulis yang berhasil mengubah pengalaman sedihnya menjadi kebahagiaan hingga hari ini. Dan di sisi lainnya ada penulis yang berhasil melewati badai dengan selamat hingga hari ini.

Aku beruntung. Sangat beruntung.
sumber : twitter @nulisbuku
Di bagian akhir seminar, aku, Mas Indra, dan Mas Ega memberi pesan-pesan. Di bagian ini, aku merasa seperti penulis beneran. Hehehe. Sori lebay.
Ini pesanku. Seingatku, aku ngomong gini kurang lebih.

“Menerbitkan buku secara mayor atau self publishing – terutama self publishing, jangan pernah main-main. Meskipun nulisbuku menerima segala macam jenis naskah, tidak berarti kita selaku penulis bisa seenaknya menerbitkan karya. Berhati-hatilah. Berkarya sebaik dan semaksimal mungkin.”

“RETWEET,” kata Mas Indra Widjaya.

Seminar berakhir dengan suka cita (versiku. semoga semua begitu). Terima kasih atas banyak pengalamannya. Sampai bertemu lagi, orang-orang hebat.
Sebelum berpisah, foto dulu bareng buku dong!
Indra Widjaya

Brilliant Yotenega

Mas Indra Widjaya juga nyempetin waktunya buat twitpic bukuku lho. Baik banget, kan? :')
Aku kasih screenshot-nya nih saking apanya :3

Sewaktu masih duduk di bangku SMK, aku menulis mimpiku untuk mengisi seminar menulis, di binder yang selalu aku bawa ke mana-mana. Saat menulisnya, aku tidak tahu bagaimana caraku untuk menuju ke sana. Tapi yang aku tahu pasti, bahwa Tuhan selalu mengabulkan doa-doa baik yang selalu diusahakan. Terima kasih. Penantianku 2 tahun.


Semoga segera ada seminar-seminar lainnya. Sembari aku mempersiapkan diriku untuk terbiasa.

Terima kasih.