Jumat, 29 Januari 2016

Jangan Salah, Sayang

Jangan salah
Sebab saran yang kamu sampaikan di hadapan orang banyak
bukan lagi berarti saran
Melainkan kamu sedang membuka aib seseorang

Jangan salah
Sebab saran yang disampaikan di belakang orang yang ingin kamu beri saran
bukan lagi berarti saran
Melainkan kamu sedang bergunjing

Jangan salah
Sebab saran yang disampaikan dengan kata-kata kasar
bukan lagi berarti saran
Melainkan kamu sedang mengumpat

Jangan salah
Sebab saran yang kamu sampaikan dengan merekam kemudian membagikan ke media sosial
bukan lagi berarti saran
Melainkan kamu sedang butuh kasih sayang

Ini bukan puisi benci, sayang
Ini adalah jawaban kasih sayang yang kamu butuhkan

Jumat, 01 Januari 2016

My Biggest Lesson from 2015 is...

Ini foto di B29 (barangkali ada yang nanya)

Bismillah. 
Ehm. Sebenernya tulisan ini bertujuan untuk menjawab mention sekaligus tantangan dari kakak tingkat, mbak Ucik, di facebook. Agak seneng sebenernya waktu mbak Ucik nge-mention aku dan menganggap bahwa aku ini "blogger". Whehehehee. Itu aku baca mention-nya pas lagi makan  di luar bareng keluarga. Munculnya notif yang tiba-tiba, sangat membuat shock. Mellow. Dan baper. Ini pertama kalinya ada yang manggil aku "blogger". Daebak! Biasanya aku dijuluki perempuan tukang drama, tukang galau, tukang baper, tukang bangunan, duh.

Jadi untuk memenuhi undangan (cie undangan) #MMKmenulis yang bertema "WHAT WAS YOUR BIGGEST LESSON FROM 2015?" maka dengan ini saya memutuskan untuk berbagi tentang pelajaran paling berharga selama 2015 - dan tentu saja beserta efek apa untuk 2016. Yak. Kira-kira begitu.

--------------------------------------------------------------------


"Bila ingin menjadi yang terbaik, yang diperlukan hanyalah berlaku baik untuk sekitar."

Pelajaran paling berharga selama 2015 ada di kalimat itu. 365 hari yang aku habiskan dengan kuliah, main, blogging, stalking, mengkhayal, nulis puisi, baca puisi, nonton drama, nangis, menikmati senyummu, jatuh cinta, dll, menghasilkan kalimat sesederhana itu.

Tantangan paling mencolok di 2015 adalah tugas akhir dan tanggung jawab pasca lulus. Apakah kamu berhasil lulus tepat waktu, dan jawaban apa yang kamu siapkan untuk pertanyaan "kapan nikah?" "kerja di mana?". Di tahun 2015, entah kenapa aku merasa bahwa pertanyaan orang-orang lebih menyeramkan ketimbang pertanyaan dosen penguji di ruang sidang. Orang-orang di 2015 cenderung menanyakan hal-hal yang bahkan mereka sudah tahu jawabannya.

Di tahun 2015 aku lulus. Iya. Aku beserta teman satu jurusan berhasil memecahkan rekor karena untuk pertama kalinya jurusan kami berhasil lulus 100%. Di tahun 2015 aku juga kerja. Walaupun ini bukan pertama kalinya aku menghasilkan uang, tapi terus terang, aku ngerasa lebih gampang menjawab kalau ada yang nanya "kerja di mana?". Belum lagi kalau ada yang tanya "Nganggur berapa lama selepas wisuda?". Duuuhh yaaaa.., mau aku jawab "Lek takok ojok sak oyot-oyot e" atau "Iki takok ta kuis?", tapi aku sadar kalau aku bukan lagi anak SD yang selalu merasa lega setelah bikin orang cegek.

Tapi sebenernya, yang paling penting di 2015 bukan pada pencapaian "aku lulus". Melainkan "Bagaimana aku bisa lulus?" "Apa sajakah yang aku lakukan demi lulus?" "Apakah ada yang sakit hati saat aku lulus?" "Berapa jumlah orang yang aku buat menangis sedih dalam kelulusanku?".

Benar sekali. Dulunya aku tidak pernah menyangka. Tekanan-tekanan dari sejumlah pihak terkadang lebih berat dari syarat lulus itu sendiri. Terkadang tanpa disadari, cara menjadi pemenang adalah dengan membuat yang lain terjatuh. Saat terjatuh, yang dibutuhkan bukan hanya obat luka --- melainkan obat penghilang dendam. Ya, begitulah yang aku dapat. Ketika orang-orang yang seharusnya semakin dekat di saat tersulitku, justru menjadi begitu asing. Bahkan sampai tulisan ini dibuat, aku belum dijelaskan mengapa di 2015 karakter-karakter itu harus muncul. Di sekitarku, dan di senyum-senyum orang yang seharusnya bisa diajak berjuang bersama. Sedih. Tega. Aku tuh nggak bisa diginiin.

Semakin dewasa, seseorang akan semakin tahu bahwa ada tanggung jawab setelah kata-kata dalam pikiran berubah menjadi ucapan. Aku juga sadar, bahwa kehidupan akan jauh lebih berat bila kita terus menerus melakukan kecurangan ataupun menyakiti hati orang lain. Dalah hal apapun, setiap orang harus memilih jalan yang ingin ditempuh. 

Di 2016, 2017, 2018, dan seterusnya... aku dan juga kita semua akan menikmati hal apa saja yang sudah kita lakukan di tahun 2015. Begitupun aku yang akan menikmati hasil lulus dari tempat ini. Apakah aku bisa lulus di dunia luar, atau hanya menjadi pengikut yang masa depannya ditentukan orang lain? Atau yang lulus namun masih harus membalas kesalahan di masa lalu? Karena ijazah hanya ijazah. Predikat "lulus" sebenarnya hanya kita yang tahu.

Setiap orang boleh berlaku seakan-akan menang. Namun diri sendiri sangat tidak bisa dibohongi.

-----------------------------------------------------------

Selamat menjalani 2016.
Tahun ini ada 366 hari, lho. Lebih banyak sehari dari tahun 2015.
Semoga lebih bijaksana.
Salam.