Minggu, 27 Desember 2015

Setengah Tidur Setengah Bangun

Di sebuah garis aku berjalan. Merasakan kebahagiaan dan kejutan di setiap langkah. Kuperlambat langkahku untuk menikmati, kupercepat langkahku untuk menemukan cerita selanjutnya. Sebelum pada akhirnya aku berhenti karena takut jatuh.

-----------------------------------------------------------------------------

"Tolong bangunkan aku, Tuhan. Ini terlalu indah. Cukupkan saja sampai sini."

Dia tersenyum seperti biasa. Matanya menyipit, bersamaan dengan hidungnya yang mengembang. Aku sedikit jago mengatur gengsiku. Padahal bila dia lebih teliti, sebenarnya hasratku untuk memeluknya sangat tidak terbendung.

"Mimpi suka datang sembarangan. Apabila sekarang Kau menggantinya dengan seseorang yang lebih masuk akal, aku tidak akan terlalu terkejut."

Dia memanggil pelayan kemudian memilih makanan dan minuman sebelum menawariku. Itu perilaku wajar sebenarnya. Teman laki-lakiku sering melakukannya. Tapi entah dari mana, tiba-tiba saja aku merasa bahwa dia seperti aktor di drama Korea favoritku. Terutama cara dia duduk. Caranya meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri sangat sempurna. Lebih sempurna bila aku bisa bertumpu di sana juga, barangkali.

Aku memegang menu - tentu saja setelah menikmati caranya menawariku, menaikkan alisnya, dan... oh, iya, tangan kami sempat bersentuhan. Pilihan makanannya tidak begitu banyak. Tapi aku sengaja memperlama keputusanku biar dia menungguku. Memperlama keputusan, biar dia menungguku. Iya, biar dia menungguku. Oke, aku mulai licik.

"Tuhan, kenapa aku tidak dibangunkan sekarang?"

Tiba-tiba aku sekarang ada di tempat tidur - tanpa dia beserta aromanya yang pas. Syukurlah. Ini akan menjadi beban menyenangkan bila dia juga di tempat tidurku. Namun suaranya keluar dari ponsel. Bukan hanya suara, wajahnya juga. Aku sadari ini video call. Layaknya pasangan LDR, aku menikmati pengalaman pertamaku. Pasangan? Oke, aku mulai lancang.

"Tuhan, haruskah sebelum tidur aku tidak perlu lagi berharap mimpi indah? Aku takut sakit kalau bangun."

Cerita, tawa, rencana liburan, nasehat, sedikit rayuannya, besar harapanku, senyumnya yang memabukkan, dan hatiku yang selalu pasrah, berhasil kami tebar sepanjang percakapan dua jam itu. Aku tenggelam dalam halusinasi remaja 13 tahun, yang percaya-percaya saja bila ada yang memuji.

Juga panggilannya untukku yang mulai berubah. Terus terang, aku tidak bisa santai untuk hal ini. Pikiranku tidak bisa bila tidak berpikir macam-macam. Dulu kami berbicara dengan bahasa yang terlalu resmi. Seakan-akan usiaku terlampau jauh di atasnya. Ditambah lagi dia yang selalu menyebut dirinya "saya".

"Akhirnya aku menikmati tidur panjang dan mimpi indahku. Jadi biar begini saja."

Sudah sebulan dia tidak menghubungiku. Apakah dia sakit, ada masalah, atau terpenjara di hutan? Tapi di zaman serba canggih seperti ini, hutan mana yang tidak menyediakan wifi? Semoga Tuhan tidak menganggap kekhawatiranku sebagai doa-doa yang dikabulkan.

Panjang umur. Ada panggilan telepon darinya yang aku jawab dengan berusaha untuk tidak tergesa-gesa, namun juga tidak terlalu lama. Di seberang sana, entah di belahan bumi bagian mana, dia berkata, "Hei.., apakah sedang sibuk? Saya butuh bantuan."

"Jadi sebenarnya, Tuhan, cerita yang terlalu panjang ini, adalah mimpi indah, prasangkaku yang berlebihan, atau kebahagiaan yang aku takutkan tidak berlangsung lama? Kuberserah pada-Mu, untuk membangunkanku, atau melanjutkan mimpi indahku."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar