Minggu, 07 Juni 2015

Saya: Bila Seorang Teman Merasa Tidak Punya Teman

Hari ini saya menangis. Sungguh, saya tahu bahwa itu bukan awal kalimat yang baik untuk mempertahankan pembaca agar membaca tulisan ini sampai habis. Tapi kenyataannya memang saya menangis dan saya berharap kalian berhenti membaca setelah menemukan tulisan "terima kasih".

Saya menangis sebab seorang teman yang saya temani karena saat itu merasa tidak punya teman, kini kembali ke temannya. Saya tidak bisa membedakan antara terharu, bangga, bahagia, atau kecewa.

--------------------------------------------------------------------------------

Kita tidak hidup pada zaman penjajahan di mana setidaknya memiliki mental yang kuat untuk membunuh penjajah. Kita hidup pada zaman di mana untuk membahagiakan seseorang bisa dilakukan dengan hanya memberi satu senyuman.

Kepada teman-teman yang merasa ceritanya saya tulis di sini, saya katakan bahwa itu benar. Saya bukan orang baik, itu sebabnya saya ada di bumi. I love you!

Saya memanggilnya "Ayis", berharap dia punya kenangan yang semoga lucu di masa kuliahnya.
Saya memanggilnya "Oppa", sebab saya tahu dia senang apabila seorang teman manja kepadanya.
Saya menjemput dan mengantar teman laki-laki yang baru saja menjual motornya agar dia berpikir bahwa dia masih punya teman perempuan yang bisa diandalkan.
Saya menelepon seorang teman yang sakit. Membuatnya tertawa sebab selera humor saya yang bagus tidak dijual di apotek dan rumah sakit.
Saya berkata ke salah satu dosen agar saya saja yang dikatai "gendut" di kelas. Jangan teman yang lain. Sebab saya lebih bisa bertahan dengan hal itu.
Saya bercerita hal paling menyedihkan di hidup saya kepada seorang teman yang iri dengan kehidupan saya. Berharap agar dia sadar bahwa Tuhan selalu adil, kemudian dia bersyukur menjadi dirinya sendiri.
Saya tidak berbasa-basi "Apakah kamu lolos SNMPTN?" kepada teman yang saya tahu tidak lolos. Sebab saya tahu tidak semua orang bisa dengan mudah menceritakan kegagalan. Saya juga tahu bahwa apabila dia lolos, dia pasti cerita dengan sendirinya.
Saya menemani seorang teman yang tidak memiliki tim PKM sebab 2 orang sahabatnya membuat tim sendiri. Saya berbohong dengan mengatakan belum dapat tim sebab tidak ingin membuatnya merasa sendiri.
Saya menyuruh seorang teman mengangkat tangan dan mengutarakan pendapat di kelas. Sebab saya tahu, setiap orang ingin didengar tetapi tidak semuanya memiliki keberanian yang cukup.
Saya tidak bercerita tentang kebaikan dan kehebatan ayah saya kepada teman yang sudah ditinggal pergi ayahnya. Sebab saya tidak ingin membuat mereka iri kemudian marah kepada Tuhan.
Saya rutin mengajak berbicara teman yang paling tidak disukai di kelas sebab saya tahu, teman adalah rumah kedua setelah keluarga bagi sebagian orang. Saya ingin memberitahunya bahwa saya adalah teman yang bisa dijadikan rumah kedua.

Saya tidak menganut kepercayaan "lupakan kebaikan yang telah kamu lakukan" atau "kalau sudah memberi, tangan kiri jangan sampai tahu". Menurut saya, tangan kiri dan semua orang harus tahu bahwa ada banyak cara menolong orang lain. Saya membenci orang yang terlalu lama membaca buku tanpa membaca lingkungan sekitar. Saya bangga menjadi diri sendiri. Sebab buku bisa dibeli, sedangkan kepekaan terhadap lingkungan sekitar hanya bisa dibiasakan oleh kemauan diri.

Ketika semua telah kembali; seorang teman mendapat motor baru, 2 sahabatnya kembali, dia sembuh, dia berani menyampaikan pendapat, dan beberapa teman bertemu kekasihnya, saya hanyalah seorang teman yang tugasnya sudah selesai.

Hal yang harus diingat adalah, tugas saya menemani teman-teman yang merasa sendiri. Jadi apabila mereka kembali, giliran saya yang tidak boleh merasa sendiri. Heeeyyy..., merasa sendiri tidak berarti benar-benar sendiri, lhooo... :)

Terima kasih.

4 komentar: